Siapa Idola Kita ?
MUKADDIMAH
Bila kita memperhatikan fenomena dan gejala yang
memasyarakat saat ini di dalam mencari panutan atau lebih trend lagi dengan
sebutan “sang idola”, maka kita akan menemukan hal yang sangat kontras dengan
apa yang terjadi pada abad-abad terdahulu, khususnya pada tiga abad utama (al-Qurûn
al-Mufadldlalah).
Kalau dulu, orang begitu mengidolakan manusia-manusia
pilihan dan berakhlaq mulia di kalangan mereka seperti para ulama dan
orang-orang yang shalih. Maka, kondisi itu sekarang sudah berubah total.
Orang-orang sekarang cenderung menjadikan manusia-manusia yang tidak karuan
dari segala aspeknya sebagai idola. Mereka mengidolakan para pemain sepakbola,
kaum selebritis, paranormal dan tokoh-tokoh maksiat pada umumnya. Anehnya, hal
ini didukung oleh keluarga bahkan diberi spirit sedemikian rupa agar anaknya
kelak bisa menjadi si fulanah yang artis, atau si fulan yang pemain sepakbola
dan seterusnya. Lebih aneh lagi bahwa mereka berbangga-bangga dengan hal itu.
Tentunya ini sangat ironis karena sebagai umat Islam yang
mayoritas seharusnya mereka harus memahami ajaran agama secara benar sehingga
tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang di dalamnya. Ketidaktahuan akan
ajaran agama ini akan berimplikasi kepada masa depan mereka kelak karena ini
menyangkut keselamatan dan ketentraman mereka di dalam meniti kehidupan di
dunia ini.
Bahkan pada sebagian masyarakat kita, telah muncul gejala
yang lebih serius dan mengkhawatirkan lagi, yaitu pengkultusan terhadap sosok
yang dianggap sebagai tokoh tanpa menyelidiki terlebih dahulu sisi ‘aqidah dan
akhlaqnya. Tokoh idola ini diikuti semua perkataan dan ditiru semua
perbuatannya tanpa ditimbang-timbang lagi, apakah yang dikatakan atau dilakukan
itu benar atau salah menurut agama bahkan sebaliknya, perkataan dan
perbuatannya justru menjadi acuan benar tidaknya menurut agama…naûdzu billâhi
min dzâlik.
Yang lebih memilukan lagi, sang idola yang tidak ketahuan
juntrungannya tersebut memposisikan dirinya sebagaimana yang dianggap oleh para
pengidolanya. Mereka berlagak sebagai manusia-manusia suci pada momen-momen
yang memang suci seperti pada bulan Ramadhan, hari Raya ‘Iedul Fithri dan
‘Iedul Adlha. Mereka diangkat sedemikian rupa oleh mass media dan media visual
maupun audio visual seperti surat kabar, majalah, internet, radio dan televisi.
Pada momen-momen tersebut, mereka seakan mengisi semua
hari-hari para pengidola bahkan non pengidolapun tak luput dari itu. Mereka
menganggap bahwa diri merekalah yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan
secara agama pada momen-momen tersebut. Maka dipersembahkanlah berbagai
tayangan program dan acara untuk menyemarakkan syi’ar bulan Ramadhan tersebut –
menurut anggapan mereka- . Tampak, pada momen-momen tersebut mereka seakan
menjadi manusia paling suci dan panutan semua… Yah! Untuk sesaat saja!.
Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tak lain
hanyalah racun yang dipaksakan kepada ummat untuk diteguk, mulai dari racun
dengan reaksi lambat, sedang bahkan cepat tergantung kepada daya tahan dan
tingkat kekebalan peneguknya. Selanjutnya, akankah kita membiarkan anggota keluarga kita meneguk
racun-racun tersebut, baru kemudian menyesali apa yang telah terjadi?.
Maka untuk mengetahui siapa yang seharusnya dijadikan
sebagai idola oleh seorang Muslim dan bagaimana implikasi-implikasinya?. Kajian
hadits kali ini sengaja mengangkat tema tersebut, mengingat hampir semua rumah
kaum Muslimin telah dimasuki oleh salah satu atau kebanyakan mass media dan
media tersebut.
Semoga kita belum terlambat untuk menyelamatkan keluarga
kita sehingga racun-racun tersebut dapat dilenyapkan dan dimusnahkan.
NASKAH
HADITS
عَنْ
أَبِي وَائِلٍ, عَنْ عَبْدِ اللّهِ (بْنِ مَسْعُوْدٍ) قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَىَ
رَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ,
كَيْفَ تَرَىَ فِي رَجُلٍ أَحَبّ قَوْماً وَلَمّا يَلْحَقْ بِهِمْ؟ قَالَ رَسُولُ
اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبّ». رواه
مسلم
Dari
Abu Wâ-il dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata: “seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah sembari berkata: ‘wahai Rasulullah! Apa pendapatmu
terhadap seorang laki-laki yang mencintai suatu kaum padahal dia belum pernah
(sama sekali) berjumpa dengan mereka?’. Rasulullah shallallâhu 'alaihi
wa sallam bersabda: “seseorang itu adalah bersama orang yang dia
cintai”. (H.R.Muslim)
TAKHRIJ
HADITS SECARA GLOBAL
Hadits
ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhâry, at-Turmuzy, an-Nasaiy, Abu Daud, Ahmad
dan ad-Darimy.
PENJELASAN
HADITS
Di
dalam riwayat yang lain, disebutkan dengan lafazh “Engkau bersama orang yang
engkau cintai”. Demikian pula dengan hadits yang maknanya: “Ikatan Islam
yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.
Anas
bin Malik mengomentarinya: “Setelah keislaman kami, tidak ada lagi hal yang
membuat kami lebih gembira daripada ucapan Rasulullah: ‘engkau bersama orang
yang engkau cintai’ ”. Lalu Anas melanjutkan: “Kalau begitu, aku
mencintai Allah dan Rasul-Nya, Abu Bakar serta ‘Umar. Aku berharap kelak
dikumpulkan oleh Allah bersama mereka meskipun aku belum berbuat seperti yang
telah mereka perbuat”.
Imam
an-Nawawy, setelah menyebutkan beberapa hadits terkait dengan hadits diatas,
menyatakan: “Hadits ini mengandung keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya,
orang-orang yang shalih, orang-orang yang suka berbuat kebajikan baik yang
masih hidup atau yang telah mati. Dan diantara keutamaan mencintai Allah dan
Rasul-Nya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan keduanya serta
berakhlaq dengan akhlaq islami. Di dalam mencintai orang-orang yang shalih
tidak mesti mengerjakan apa saja yang dikerjakannya sebab bila demikian halnya
maka berarti dia adalah termasuk kalangan mereka atau seperti mereka.
Pengertian ini dapat diambil dari hadits setelah ini, yakni (ucapan seseorang
yang bertanya tentang pendapat beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengenai)
seseorang yang mencintai suatu kaum sementara dia tidak pernah sama sekali
bertemu dengan mereka (seperti yang tersebut di dalam hadits diatas-red)…”.
Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyyah mengaitkan makna cinta tersebut selama seseorang itu
mencintai Allah dan Rasul-Nya sebab orang yang mencintai Allah, maka dia pasti
mencintai para Nabi-Nya karena Dia Ta’ala mencintai mereka dan mencintai setiap
orang yang meninggal di atas iman dan taqwa. Maka mereka itulah Awliyâ Allah
(para wali Allah) yang Allah cintai seperti mereka yang dipersaksikan oleh
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam masuk surga, demikian pula dengan
Ahli Badar dan Bai’ah ar-Ridlwan. Jadi, siapa saja yang telah dipersaksikan
oleh Rasulullah masuk surga, maka kita bersaksi untuknya dengan hal ini
sedangkan orang yang tidak beliau persaksikan demikian, maka terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama; sebagian ulama mengatakan: ‘tidak boleh
dipersaksikan bahwa dia masuk surga dan kita juga tidak bersaksi bahwa Allah
mencintainya’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: ‘justeru orang yang
memang dikenal keimanan dan ketakwaannya di kalangan manusia serta kaum
Muslimin telah bersepakat memuji mereka seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
al-Hasan al-Bashry, Sufyan ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’iy, Ahmad,
Fudlail bin ‘Iyadl, Abu Sulaiman ad-Darany (al-Kurkhy), ‘Abdullah bin Mubarak
dan selain mereka, kita mesti bersaksi bahwa mereka masuk surga’.
Diantara
dalil yang digunakan oleh kelompok kedua ini adalah hadits shahih yang menyatakan
bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah melewati suatu jenazah
lalu mereka memujinya dengan kebaikan, maka beliau berkata: “pasti, pasti”.
Kemudian lewat lagi suatu jenazah lalu mereka bersaksi untuknya dengan
kejelekan, maka beliau berkata: “pasti, pasti”. Mereka lantas bertanya:
“wahai Rasulullah! Apa maksud ucapanmu : ‘pasti, pasti tersebut ?’. beliau
menjawab: “jenazah ini kalian puji dengan kebaikan, maka aku katakan: ‘pasti ia
masuk surga’. Dan jenazah satunya, kalian bersaksi dengan kejelekan untuknya,
maka aku katakan: ‘pasti dia masuk neraka’. Lalu ada yang bertanya kepada
beliau: “bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab:
“dengan pujian baik atau jelek”.
(Bersambung....)
REFERENSI:
1.
“Majmu’ al-Fatâwâ” Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts
“al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.
Kitab “at-Tauhid” karya
Syaikh Shalih al-Fauzân
3.
Kitab “al-Qaul
al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar