Siapa Idola Kita ?
MUKADDIMAH
Klasifikasi
Mahabbah (Kecintaan)
Mahabbah
ada beberapa jenis:
Pertama, al-Mahabbah Lillâh (kecintaan karena Allah)
; jenis ini tidak menafikan tauhid kepada-Nya bahkan sebagai penyempurna sebab
ikatan keimanan yang paling kuat adalah kecintaan karena Allah dan kebencian
karena Allah.
Refleksi dari kecintaan karena Allah adalah bahwa kita
mencintai sesuatu karena Allah Ta’ala mencintainya baik ia berupa orang atau
pekerjaan, dan inilah yang merupakan penyempurna keimanan.
Diantara contoh yang menjelaskan perbedaan antara kecintaan
kepada Allah dan selain Allah adalah antara apa yang dilakukan oleh Abu Bakar
dan Abu Thalib; Abu Bakar mencintai Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam karena
semata-mata mengharap ridla Allah sedangkan Abu Thalib, paman Nabi mencintai
diri beliau dan membelanya karena mengikuti hawa nafsunya bukan karena Allah
sehingga Allah menerima amal Abu Bakar dan tidak menerima amal Abu Thalib.
Kedua, al-Mahabbah ath-Thabî’îyyah (kecintaan yang
alami) dimana seseorang tidak mendahulukannya dari kecintaannya kepada Allah ;
jenis ini juga tidak menafikan kecintaan kepada Allah. Contohnya adalah seperti
kecintaan terhadap isteri, anak dan harta.
Oleh karena itu, tatkala Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam ditanyai tentang siapa manusia yang paling engkau cintai?. Beliau
menjawab: ‘Aisyah. Lalu beliau ditanyai lagi: dari kalangan laki-laki siapa?.
Beliau menjawab: ayahnya (yakni Abu Bakar). Demikian juga kecintaan seseorang
kepada makanan, pakaian dan selain keduanya yang bersifat alami.
Ketiga, al-Mahabbah ma’a Allah (kecintaan
berbarengan dengan kecintaan kepada Allah) yang menafikan tauhid kepada-Nya;
yaitu menjadikan kecintaan kepada selain Allah seperti kecintaan kepada-Nya
atau melebihinya dimana bila kedua kecintaan itu saling bertolak belakang,
seseorang lebih mengutamakan kecintaan kepada selain-Nya ketimbang kepada-Nya.
Hal ini dapat terjadi ketika seseorang menjadikan kecintaan tersebut sebagai
sekutu bagi Allah yang lebih diutamakannya atas kecintaan kepada-Nya atau
–paling tidak- menyamainya.
Diantara contoh kecintaan kepada selain Allah adalah
seperti kecintaan kaum Nashrani terhadap ‘Isa al-Masih 'alaihissalâm,
kecintaan kaum Yahudi terhadap Musa 'alaihissalâm, kecintaan kaum Syi’ah
Rafidlah terhadap ‘Aly radliallâhu 'anhu, kecintaan kaum Ghulât (orang-orang
yang melampaui batas dan berlebih-lebihan) terhadap para syaikh dan imam mereka
seperti orang yang menunjukkan loyalitas terhadap seorang Syaikh atau Imam dan
menghasut orang lain agar menjauhi orang yang dianggap rival atau saingannya
padahal masing-masing mereka hampir sama atau sama di dalam kedudukan dan
kualitas kelimuan.
Ini sama dengan kondisi Ahlul Kitab yang beriman kepada
sebagian Rasul dan kufur kepada sebagian yang lain; kondisi kaum Syi’ah
Rafidlah yang menunjukkan loyalitas terhadap sebagian shahabat dan memusuhi
sebagian besar yang lainnya, demikian pula kondisi orang-orang yang fanatik
dari kalangan Ahli Fiqih dan Zuhud yang menunjukkan sikap loyalitas terhadap
para syaikh dan imam mereka dengan menganggap remeh orang-orang selain mereka
yang sebenarnya hampir sama atau selevel dengan para syaikh dan imam mereka
tersebut. Seorang Mukmin sejati adalah orang yang menunjukkan loyalitas
terhadap semua orang yang beriman sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu bersaudara”.
Perbedaan Antara Klasifikasi Pertama Dan Ketiga
Perbedaan antara klasifikasi pertama, yakni al-Mahabbah
lillâh (kecintaan karena Allah) dan klasifikasi ketiga, yakni al-Mahabbah
ma’a Allah (kecintaan berbarengan dengan kecintaan kepada Allah) tampak
jelas sekali, yaitu;
1.
Bahwa Ahli syirik
menjadikan sekutu-sekutu yang mereka cintai sama seperti kecintaan mereka
kepada Allah bahkan lebih,
2.
Sedangkan
orang-orang yang beriman dan ahli iman sangat mencintai Allah, ini dikarenakan
asal kecintaan mereka adalah mencintai Allah dan barangsiapa yang mencintai
Allah, maka dia akan mencintai orang yang dicintai oleh Allah; dan barangsiapa
yang dicintai oleh-Nya, maka dia akan mencintai-Nya. Jadi, orang yang dicintai
oleh orang yang dicintai oleh Allah adalah dicintai oleh Allah karena dia
mencintai Allah; barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintainya
sehingga kemudian dia mencintai orang yang dicintai oleh-Nya.
Urgensi Mencintai Allah dan Rasul-Nya
Kewajiban pertama seorang hamba adalah mencintai Allah
Ta’ala karena merupakan jenis ibadah yang paling agung sebagaimana firman-Nya :
“Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”.
(Q,.s.al-Baqarah/01: 165). Hal ini dikarenakan Dia Ta’ala adalah Rabb yang
telah berkenan memberikan kepada semua hamba-Nya nikmat-nikmat yang banyak baik
secara lahir maupun bathin.
Kewajiban berikutnya adalah mencintai Rasul-Nya, Muhammad shallallâhu
'alaihi wa sallam sebab beliaulah yang mengajak kepada Allah,
memperkenalkan-Nya, menyampaikan syari’at-Nya serta menjelaskan kepada manusia
hukum-hukum-Nya. Jadi, semua kebaikan yang didapat oleh seorang mukmin di dunia
dan akhirat semata adalah berkat perjuangan Rasulullah. Seseorang tidak akan
masuk surga kecuali bila ta’at dan mengikuti beliau shallallâhu 'alaihi wa
sallam .
Di dalam hadits yang lain disebutkan: “Tiga hal yang
bila ada pada seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman; (pertama)bahwa
dia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain
keduanya; (kedua) dia mencintai seseorang hanya karena Allah; (ketiga) dia
benci untuk kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah darinya
sebagaimana dia benci dirinya dicampakkan ke dalam api neraka”. (Hadits
Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hal ini, mencintai Rasulullah yang menempati
peringkat kedua merupakan sub-ordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah
Ta’ala. Khusus dengan kewajiban mencintai Rasulullah dan mendahulukannya atas
kecintaan terhadap siapapun dari Makhluk Allah, terdapat hadits beliau yang
berbunyi (artinya) : “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku
menjadi orang yang paling dicintainya daripada anaknya, ayahnya serta seluruh
manusia”. (Hadits Muttafaqun ‘alaih).
Lebih dari itu, hendaknya kecintaannya terhadap Rasulullah
melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri sebagaimana disebutkan di dalam
hadits bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radliallâhu 'anhu pernah berkata:
“Wahai Rasulullah! Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain
daripada diriku”. Lalu beliau bersabda: “demi Yang jiwaku berada di
tangan-Nya, hingga engkau jadikan aku lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri”. Lantas ‘Umar berkata kepada beliau: “Kalau begitu, sekarang
engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Beliau berkata kepadanya: “Sekaranglah,
wahai ‘Umar!”. (H.R.Bukhary).
Imam Ibn al-Qayyim berkata: “Setiap mahabbah
(kecintaan) dan pengagungan terhadap manusia hanya boleh menjadi sub-ordinasi
dari kecintaan kepada Allah dan pengagungan terhadap-Nya, yaitu seperti
kecintaan kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan
pengagungan terhadapnya karena hal ini merupakan sarana penyempurna kecintaan
terhadap utusan-Nya dan pengagungan terhadap-Nya. Sesungguhnya, umat mencintai
Rasul mereka karena kecintaan Allah, pengagungan-Nya serta pemuliaan-Nya
terhadap dirinya. Inilah bentuk kecintaan yang merupakan konsekuensi dari
kecintaan kepada Allah”.
REFERENSI:
1.
“Majmu’ al-Fatâwâ” Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts
“al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.
Kitab “at-Tauhid” karya
Syaikh Shalih al-Fauzân
3.
Kitab “al-Qaul
al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar