Negeri Kebenaran
oleh Idries Shah
Ada
seseorang yang yakin bahwa waktu jaga sehari-hari, sebagaimana yang kita
saksikan, tidak mungkin sempurna.
Ia pun pergi mencari Guru Zaman yang sejati. Banyak kitab-kitab
yang telah dibacanya dan banyak kalangan-kalangan yang telah diterjuninya,
sehingga ia telah dapat mendengar ucapan-ucapan dan menyaksikan
perbuatan-perbuatan dari berbagai guru. Ia melaksanakan perintah-perintah yang
keras beserta latihan-latihan spirituil yang sangat menarik hatinya.
Ia sangat gembira karena mendapatkan pengalaman-pengalaman. Namun
kadang-kadang ia bingung karena ia sama sekali tak tahu tingkatan apa yang
telah dicapainya dan dimanakah atau kapankah pencariannya itu akan berakhir.
Pada
suatu hari ketika sedang mengkaji segala tingkah lakunya ia mendapati dirinya
telah berada di dekat rumah kediaman manusia-manusia arif bijaksana yang sangat
terkenal. Di dalam rumah itu ia bertemu dengan Khaidir, penunjuk-jalan rahasia
yang menunjukkan jalan ke arah kebenaran.
Khaidir membawanya ke suatu tempat di mana ia dapat menyaksikan
manusia-manusia yang sedang sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ia
bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.
Mereka
menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak mengkuti ajaran-ajaran
yang sejati, yang tidak setia kepada tugas yang dibebankan ke atas pundak kami,
dan yang [hanya] memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri."
Kemudian ia dibawa pula oleh Khaidir ke suatu tempat di mana
setiap orang mempunyai wajah yang berseri-seri dan berbahagia. Kepada mereka ia
bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.
Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti
Petunjuk-petunjuk Jalan yang sebenarnya."
"Tetapi bila engkau telah mengabaikan petunjuk-petunjuk itu
mengapakah engkau bisa berbahagia?" bertanya si pengelana.
"Karena
kami lebih senang memilih kebahagiaan daripada kebenaran," jawab mereka,
"seperti orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri sebenarnya
memilih kesengsaraan pula."
"Tetapi
bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita yang paling tinggi dari ummat
manusia?" bertanya pula si pengelana.
"Tujuan
yang terakhir dari ummat manusia adalah kebenaran. Kebenaran itu lebih daripada
kebahagiaan. Seseorang yang telah mendapatkan kebenaran dapat memiliki
perasaan-perasaan yang bagaimanapun menurut keinginannya atau membuang semua
perasaan-perasaan itu.
Kami telah berpura-pura
bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah kebenaran dan
orang-orang percaya kepada kami. Dan hingga saat inipun engkau sendiri
menyangka bahwa kebahagiaan itu pastilah sama dengan kebenaran. Tetapi
kebahagiaan akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh
kesengsaraan."
Kemudian sang pengelana rnenemukan dirinya telah berada kembali di
halaman itu dengan Khaidir di sisinya.
"Aku
akan mengabulkan sebuah permintaanmu," kata Khaidir.
"Aku
ingin mengetahui mengapa aku telah gagal dalam mencari dan bagaimana aku dapat
berhasil," jawab si pengembara.
"Engkau
telah menyia-nyiakan seluruh hidupmu," kata Khaidir, "karena engkau
adalah manusia pembohong.
Engkau sebenarnya mencari
kepuasan pribadi walaupun engkau [sebenarnya] dapat [memilih] mencari
kebenaran."
"Namun
aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu. Dan hal ini tak
terjadi terhadap setiap orang."
"Ya,
engkau telah dapat menemuiku karena ketulusan hatimu cukup besar untuk
menginginkan kebenaran demi kebenaran itu sendiri walaupun untuk sesaat saja.
Ketulusan hatimu yang sesaat itulah yang menyebabkan aku datang untuk memenuhi
himbauanmu."
[sesaat kemudian] Kini si pengelana merasakan keinginan yang
menggelora untuk menemui kebenaran meskipun ia akan tenggelam. Namun Khaidir
telah beranjak pergi dan ia pun mengejarnya.
"Jangan
engkau ikuti aku ", seru Khaidir, "aku akan kembali ke dunia yang
penuh tipu, karena disitu[-lah] aku seharusnya berada untuk melakukan
tugasku."
Ketika si pengelana melihat ke sekelilingnya, sadarlah ia bahwa ia
tak lagi berada di halaman rumah sang guru arif bijaksana tetapi sedang berada
di tengah-tengah negeri kebenaran.