Sabtu, 28 April 2012

Tulisan 11

Dan seorang remaja berkata, 
Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.
Dan dia  menjawab:
Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, 
yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.

Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, 
kau tiada takut membisikkan kata Tidak
di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata Ya.
Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; 
kerana tanpa ungkapan kata, dalam  persahabatan, 
segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, 
dengan kegembiraan tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;
Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, 
mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, 
bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, 
nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, 
bukanlah cinta, 
tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu jika  kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, 
biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..
Karena dalam titisan kecil embun pagi, 
hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.

Betapa puisi persahabatan tersebut terasa penuh makna kehidupanyang tidak pernah akan kering karena disirami oleh rasa percaya akan sesama sahabat yang begitu melekat dalam hati.
Karya : Kalil Gibran

Senin, 23 April 2012

Tulisan 10

Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah

Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan "teman"nya. Nabi saw. Berkata: "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.

Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada seseorang: "Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: 'Ya, saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."

Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.

Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur'an yang merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.: "Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.

Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan." Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata: "Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku." Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat, sebagaimana kara al-Qur'an: "Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya." Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun."

Tulisan 9

SAHABATKU

Malik bin Dinar, sangat marah karena seorang pemuda yang hidup di sebelah rumahnya bertindak kurang ajar. Lama ia tidak berbuat apa-apa. Ia berharap, orang lain akan turun tangan. Tetapi setelah perilaku pemuda itu menjadi sungguh keterlaluan, maka Malik menegurnya, agar ia mengubah kelakuannya.

Pemuda itu dengan tenang memberitahu Malik, bahwa ia dilindungi oleh Sultan dan tidak seorang pun dapat menghalangi apa pun yang dikehendakinya.
Malik berkata: 'Aku sendiri akan mengadu kepada Sri Sultan.' Pemuda itu menanggapi: 'Samasekali tidak ada gunanya. Sebab, Sri Sultan tidak pernah berubah pandangan mengenai diriku.'
'Kalau begitu, engkau akan kulaporkan kepada Pencipta di surga!, kata Malik. 'Pencipta di surga?' tukas pemuda itu. 'Ia Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku!'

Malik tidak dapat berbuat apa-apa. Maka ditinggalkannya pemuda itu. Tetapi beberapa waktu kemudian nama si pemuda menjadi begitu jelek, hingga orang banyak pun menentangnya. Malik merasa wajib untuk mencoba memperingatkannya lagi. Ketika ia berjalan menuju rumah pemuda tersebut ia mendengar Suara dalam batinnya: 'Awas! Jangan menyentuh sahabatku. Ia ada di bawah perlindunganKu.' Malik menjadi bingung. Waktu bertemu muka dengan pemuda itu, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.

Pemuda itu bertanya: 'Mengapa engkau datang?' Jawab Malik: 'Aku datang untuk menegurmu, tetapi di tengah jalan kudengar Suara yang melarangku untuk menyinggungmu, karena engkau berada di bawah perlindunganNya.'

Wajah pemuda bergajulan itu berubah: 'Benarkah Ia menyebut aku sahabatNya?' tanyanya. Tetapi pada saat itu Malik sudah meninggalkan rumahnya. Bertahun-tahun kemudian Malik berjumpa dengannya di Mekah. Ia begitu tersentuh oleh perkataan Suara itu, sehingga ia membagi-bagikan seluruh harta bendanya dan menjadi pengemis pengembara. 'Aku datang kemari untuk mencari Sahabatku,' katanya kepada Malik. Lalu ia meninggal.
Tuhan, sahabat orang berdosa? Pernyataan ini amat berbahaya, tetapi sekaligus berkekuatan luar biasa. Aku pernah mencobanya pada diriku sendiri, ketika aku berkata: 'Tuhan Maharahim sehingga tidak akan mempersalahkan aku.' Dan tiba-tiba aku mendengar Kabar Gembira, --pertama kali dalam hidupku.

(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)

Kamis, 12 April 2012

Tulisan 8

Negeri Kebenaran
oleh Idries Shah


Ada seseorang yang yakin bahwa waktu jaga sehari-hari, sebagaimana yang kita saksikan, tidak mungkin sempurna.

Ia pun pergi mencari Guru Zaman yang sejati. Banyak kitab-kitab yang telah dibacanya dan banyak kalangan-kalangan yang telah diterjuninya, sehingga ia telah dapat mendengar ucapan-ucapan dan menyaksikan perbuatan-perbuatan dari berbagai guru. Ia melaksanakan perintah-perintah yang keras beserta latihan-latihan spirituil yang sangat menarik hatinya.

Ia sangat gembira karena mendapatkan pengalaman-pengalaman. Namun kadang-kadang ia bingung karena ia sama sekali tak tahu tingkatan apa yang telah dicapainya dan dimanakah atau kapankah pencariannya itu akan berakhir.
Pada suatu hari ketika sedang mengkaji segala tingkah lakunya ia mendapati dirinya telah berada di dekat rumah kediaman manusia-manusia arif bijaksana yang sangat terkenal. Di dalam rumah itu ia bertemu dengan Khaidir, penunjuk-jalan rahasia yang menunjukkan jalan ke arah kebenaran.

Khaidir membawanya ke suatu tempat di mana ia dapat menyaksikan manusia-manusia yang sedang sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.
Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak mengkuti ajaran-ajaran yang sejati, yang tidak setia kepada tugas yang dibebankan ke atas pundak kami, dan yang [hanya] memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri."

Kemudian ia dibawa pula oleh Khaidir ke suatu tempat di mana setiap orang mempunyai wajah yang berseri-seri dan berbahagia. Kepada mereka ia bertanya, siapakah mereka itu sebenarnya.

Mereka menjawab: "Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti Petunjuk-petunjuk Jalan yang sebenarnya."
"Tetapi bila engkau telah mengabaikan petunjuk-petunjuk itu mengapakah engkau bisa berbahagia?" bertanya si pengelana.
"Karena kami lebih senang memilih kebahagiaan daripada kebenaran," jawab mereka, "seperti orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri sebenarnya memilih kesengsaraan pula."
"Tetapi bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita yang paling tinggi dari ummat manusia?" bertanya pula si pengelana.
"Tujuan yang terakhir dari ummat manusia adalah kebenaran. Kebenaran itu lebih daripada kebahagiaan. Seseorang yang telah mendapatkan kebenaran dapat memiliki perasaan-perasaan yang bagaimanapun menurut keinginannya atau membuang semua perasaan-perasaan itu.

 Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah kebenaran dan orang-orang percaya kepada kami. Dan hingga saat inipun engkau sendiri menyangka bahwa kebahagiaan itu pastilah sama dengan kebenaran. Tetapi kebahagiaan akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan."

Kemudian sang pengelana rnenemukan dirinya telah berada kembali di halaman itu dengan Khaidir di sisinya.
"Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu," kata Khaidir.
"Aku ingin mengetahui mengapa aku telah gagal dalam mencari dan bagaimana aku dapat berhasil," jawab si pengembara.
"Engkau telah menyia-nyiakan seluruh hidupmu," kata Khaidir, "karena engkau adalah manusia pembohong.

 Engkau sebenarnya mencari kepuasan pribadi walaupun engkau [sebenarnya] dapat [memilih] mencari kebenaran."
"Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu. Dan hal ini tak terjadi terhadap setiap orang."
"Ya, engkau telah dapat menemuiku karena ketulusan hatimu cukup besar untuk menginginkan kebenaran demi kebenaran itu sendiri walaupun untuk sesaat saja. Ketulusan hatimu yang sesaat itulah yang menyebabkan aku datang untuk memenuhi himbauanmu."

[sesaat kemudian] Kini si pengelana merasakan keinginan yang menggelora untuk menemui kebenaran meskipun ia akan tenggelam. Namun Khaidir telah beranjak pergi dan ia pun mengejarnya.
"Jangan engkau ikuti aku ", seru Khaidir, "aku akan kembali ke dunia yang penuh tipu, karena disitu[-lah] aku seharusnya berada untuk melakukan tugasku."

Ketika si pengelana melihat ke sekelilingnya, sadarlah ia bahwa ia tak lagi berada di halaman rumah sang guru arif bijaksana tetapi sedang berada di tengah-tengah negeri kebenaran.

Tulisan 7

Sebuah Teladan
oleh Jalaluddin Rakhmat

Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.

Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.

Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan berdo'a: "Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik 'arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay'ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim."

Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Qur'an di tangan kanannya: "Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an. Jika tangannya terpotong peganglah Al-Qur'an ini dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh."

Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan Al-Qur'an kepada anak muda itu, "Bawalah Al-Qur'an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan:
Al-Qur'an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian."

Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat Al-Qur'an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.

Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka."

Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu'awiyah mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur'an, memohon perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal.

Dari: Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991