Kelulusan dan Perpisahan
Saat-saat yang menegangkan adalah saat dimana Ujian Nasional akan
dilaksanakan! Itu menurut teman-temanku. Tapi menurutku, Ujian Nasional
sama saja seperti ulangan-ulangan biasa. Yang berbeda cuma soal Ujian
Nasional di ambil dari pelajaran-pelajaran kelas X, XI, XII.
Seminggu sebelum ujian ini dilaksanakan, aku sudah mempersiapkan diri
untuk menghadapinya bersama sahabatku, Naya. Aku bersahabat dengan Naya
sejak kelas 7 SMP. Saat itu, dia sudah kelas 8. Tetapi, ketika Naya
naik ke SMA, dia pindah ke Ibukota Jakarta dan bersekolah di suatu
sekolah yang sangat bagus dan menjadi sekolah idaman semua anak (tidak
semua juga sih). Tetapi, karena bisa di kata aku murid yang terkenal
cerdas (bukan maksudku sombong) aku menerima ekselerasi di sebuah SMA
tempat Naya juga bersekolah. Sungguh sesuatu yang sangat membanggakan
untukku.
Setelah aku menerima dan menyetujui ekselerasi itu, akupun mengabari kepada Naya,
“Naya?”
“Iya Nan? Kenapa? Barusan lagi kamu nge-sms aku. Hehe ”
“Oh, enggak. Aku cuma mau bilang, aku mau liburan kesana.”
“Oh, ya? Wah. Senang rasanya. Kamu tinggal dimana disini? Kapan-kapan kamu mampir kerumahku yah. Btw, kok tumben kamu liburan ke luar kota? Biasanya kamu pilih liburan di rumah?”
“Hehe. Sebenarnya, bukan sekedar liburan. Aku dapat ekselerasi sekolah disana. Jadi, kira-kira kalau kamu kelas 12 nanti, kita seangkatan.”
“Hah? Iyakah? Wah. Selamat yah Nan. Kamu sudah bisa buktiin kalau kamu bisa. Oh, iya. Sampai jumpa disini yah.”
Naya pun menutup telponku.
Setelah aku menerima dan menyetujui ekselerasi itu, akupun mengabari kepada Naya,
“Naya?”
“Iya Nan? Kenapa? Barusan lagi kamu nge-sms aku. Hehe ”
“Oh, enggak. Aku cuma mau bilang, aku mau liburan kesana.”
“Oh, ya? Wah. Senang rasanya. Kamu tinggal dimana disini? Kapan-kapan kamu mampir kerumahku yah. Btw, kok tumben kamu liburan ke luar kota? Biasanya kamu pilih liburan di rumah?”
“Hehe. Sebenarnya, bukan sekedar liburan. Aku dapat ekselerasi sekolah disana. Jadi, kira-kira kalau kamu kelas 12 nanti, kita seangkatan.”
“Hah? Iyakah? Wah. Selamat yah Nan. Kamu sudah bisa buktiin kalau kamu bisa. Oh, iya. Sampai jumpa disini yah.”
Naya pun menutup telponku.
Perasaan bangga dan senang yang kini kurasakan. Aku ditemani abangku
yang juga bersekolah tepatnya kuliah S1 di Jakarta. Aku memang pernah
mengatakan kepada Nia, aku pengen mendapatkan ekselerasi dan bersekolah
di tempat suatu sekolah yang menjadi idaman banyak orang. Tetapi, berkat
sebuah lomba internasional yang kuikuti, sekolah memberikanku beasiswa
dan akupun mendapat ekselerasi.
Ketika aku masuk di sekolah ini, yah Naya sudah kelas 11. Dan ketika
pengumuman penaikan kelas, akupun naik ke kelas 12. Dan karena Naya
terkenal sebagai anak yang cerdas di sekolah ini, dia dimasukkan di
kelas homogen, yaitu kelas khusus untuk anak-anak yang di anggap cerdas
dan kelas ini menggunakan 2 bahasa. Inggris-Indonesia. Bukan berarti,
kelas-kelas yang lain itu buruk. Dan ketika kelas 12, aku sekelas dengan
Naya. Sungguh senang rasanya. Kami kadang bernostalgia ketika masa-masa
di SMP dulu dan saling tanya-menanya tentang sahabat-sahabat kami yang
dulu seperti Aydhil, Rani, Didit, Dini, Nasha, dan Rian. Mereka masih
ada yang menetap kecuali Rani. Dia bersekolah di Bandung. Tapi,
komunikasi kami semua masih tetap lancar.
Persiapanku dan Naya menghadapi ujian nasional sudahlah mantap.
Kamipun tak lupa memanjatkan doa untuk kelulusan kami. Tetapi ada kabar
yang sangat mengejutkan dari Naya. Kesehatannya sangat turun.
Penyakitnya yang dia idap semenjak kecil kambuh lagi. terpaksa dia di
rawat di rumah sakit selama beberapa hari. Akupun sering menjenguknya
bersama abangku. 3 hari lagi, ujian nasional akan diadakan. Dan menurut
keterangan dokter, Naya sudah akan bisa keluar dari rumah sakit dalam 2
hari kedepan. Akupun selalu berdoa, semoga Naya bisa mengerjakan
soal-soal ujian nasional terakhirnya selama hampir kurang lebih 12 tahun
dia bersekolah.
Ujian nasional yang telah lama dinanti-nanti ini akhirnya tiba. Ku
lihat, Naya turun dari mobil menggunakan kursi roda. Kemudian kudatangi
dia dan ku dorong kursi rodanya menuju ruanganan ujian. Aku sangat
kasihan dengan Naya. Walaupun dia lagi sakit, dia tetap masuk sekolah
dan melakukan ujian.
Ujian dilaksanakan hanya 3 hari. Setelah ujian nasional berakhir. Ku
lihat wajah teman-temanku. Senang, gembira, dan ada juga yang tegang dan
bingung bagaimana nanti hasilnya. Dan ku lihat Naya menghampiriku.
“Hay, Nan.”
“Hay, Naya. Gimana nih perasaanmu?”
“Yah, seperti teman-teman yang lainlah, Nan. Semoga hasilnya sangat memuaskan yah Nanda.”
akupun membalasnya dengan senyuman.
“Hay, Nan.”
“Hay, Naya. Gimana nih perasaanmu?”
“Yah, seperti teman-teman yang lainlah, Nan. Semoga hasilnya sangat memuaskan yah Nanda.”
akupun membalasnya dengan senyuman.
Pengumuman kelulusan akan diumumkan dalam kurung waktu 2-3 minggu
lagi. aku hanya dapat berdoa dan berdoa. Karena akulah anak paling muda
diangkatanku. Aku berbeda setahun dari mereka. Jadi ku pikir, apakah aku
bisa? Tapi untung saja ada Naya, dan sahabat-sahabatku yang lain
mendukungku. Ku ingat apa yang dikatakan Rani, “Kamu punya mimpi yang
besar dan kamu kini bisa mewujudkannya! Yaitu, kamu bisa membanggakan
orangtua, kami (sahabat-sahabatmu) dan sekolah di tingkat internasional!
Kamupun harus tetap yakin kamu bisa lulus dan kalau perlu, kamupun
harus bisa mengalahkan nilai-nilai kami! Kamu pasti bisa!” ku ucapkan
baik-baik kata-kata itu di dalam didiriku. Naya pun selalu mendukungku.
Akupun selalu mendukungnya.
Hari ini, aku bangun dengan gembira. Bagaimana tidak. Ini adalah hari
dimana penamatan akan dilakukan. Aku didampingi abangku menuju gedung
tempat penamatan sekolahku dilakukan. Untung saja permohonanku untuk
orangtuaku diwakili oleh abangku dikabulkan dengan pertimbangan, jauhnya
jarakku dengan orangtuaku. Aku sangat deg-degan menunggu hasilnya
dibukakan oleh bapak kepala sekolah. Ku lihat pula wajah teman-teman
yang lain. Sepertinya merekapun deg-degan dan adapula yang mulutnya
komat-kamit berdoa. Dan oh, ya. Dimana Naya?? Akupun melihat
kesekelilingku. Kemudian, ada ku lihat seorang anak menggunakan kursi
roda masuk dengan didampingi kedua orangtuanya. Karena ada 3 kursi
kosong disampingku, orangtua Naya pun duduk disitu dan seorang guru
memindahkan satu kursi karena Naya hanya ingin duduk di kursi rodanya
saja. Ku lihat sebuah senyuman terukir di bibir kecil Naya. Dia agak
pucat.
Ketika pak kepala sekolah membuka hasilnya, ternyata semua siswa(i)
di sekolah kami lulus 100%! Kami semua bersorak gembira. Adapula yang
melakukan sujud syukur dan adapula yang menangis bahagia.
“Selamat yah dek. Adek kini sudah membuktikan ke abang klo adek bisa.”
“Iya, bang. Makasih. Dan makasih juga atas doa-doa mas ke adek.” Jawabku sambil tersenyum. Kemudian ku lihat Naya. Dan kemudian ku peluk dan kuucapkan selamat ke Naya. Dan ketika kucek hpku, sudah banyak ucapan selamat dari teman-temanku dan juga sahabat-sahabatku. Ternyata, Aydhil, Rani, Didit, Dini, Nasha, dan Rian lulus pula! Senang rasanya dapat lulus bersama walaupun dengan jarak yang sangat jauh. Apalagi ketika pak Rahmat dan Bu Dzur mengumumkan siswa berprestasi dan mendapat nilai tertinggi di sekolah. Dan syukur alhamdulillah! Akupun kembali membanggakan keluargaku dan juga sahabat-sahabatku! Aku naik sebagai siswa berprestasi bersama Naya! Dan mendapat nilai tertinggi bukan hanya di sekolah, tapi senasional! Akupun kembali mendapat beasiswa. Karena aku juga sering ikut perlombaan mewakili sekolah ketika kelas 10.
“Selamat yah dek. Adek kini sudah membuktikan ke abang klo adek bisa.”
“Iya, bang. Makasih. Dan makasih juga atas doa-doa mas ke adek.” Jawabku sambil tersenyum. Kemudian ku lihat Naya. Dan kemudian ku peluk dan kuucapkan selamat ke Naya. Dan ketika kucek hpku, sudah banyak ucapan selamat dari teman-temanku dan juga sahabat-sahabatku. Ternyata, Aydhil, Rani, Didit, Dini, Nasha, dan Rian lulus pula! Senang rasanya dapat lulus bersama walaupun dengan jarak yang sangat jauh. Apalagi ketika pak Rahmat dan Bu Dzur mengumumkan siswa berprestasi dan mendapat nilai tertinggi di sekolah. Dan syukur alhamdulillah! Akupun kembali membanggakan keluargaku dan juga sahabat-sahabatku! Aku naik sebagai siswa berprestasi bersama Naya! Dan mendapat nilai tertinggi bukan hanya di sekolah, tapi senasional! Akupun kembali mendapat beasiswa. Karena aku juga sering ikut perlombaan mewakili sekolah ketika kelas 10.
Aku dan Naya pun naik keatas panggung dengan keluarga. Kecuali aku
yang hanya didampingi oleh kakakku. Aku dan Naya mendapat banyak hadiah
dari sekolah walaupun lebih banyak aku. Aku mendapat beasiswa kuliah S1
di Amerika. Ketika di atas panggung, ku lihat Aydhil, Rani, Didit, Dini,
Nasha, dan Rian! Dan ku bisik ke Naya bahwa mereka ada di dekat pintu
masuk. Ku lihat pula Nasha yang asyik memotret-motret kami di atas. Ku
lihat juga, senyum kebahagiaan di bibir Naya.
“Para hadirin, perlu anda semua ketahui, Arinanda Zafinah Putri yang akrab di panggil Nanda dan Azizah Kanaya atau yang akrab di panggil Naya ini pernah menjuarai sebuah lomba yang mungkin kalian tidak ketahui termasuk saya sendiri sebagai gurunya dan hanya pak kepala sekolah yang tahu, mereka berdua mendapat juara 1 dalam lomba tersebut! Penyerahan hadiah dilakukan oleh pak kepala sekolah dengan hormat kami persilahkan menyerahkan hadiah kepada Arinanda dan Azizah.” Kulihat hadiah uang sebesar 12 juta diberikan kepada kami berdua. Dan 2 buah medali emas untuk kami berdua. Ku lihat sahabat-sahabatku yang bersorak-sorak gembira.
“Para hadirin, perlu anda semua ketahui, Arinanda Zafinah Putri yang akrab di panggil Nanda dan Azizah Kanaya atau yang akrab di panggil Naya ini pernah menjuarai sebuah lomba yang mungkin kalian tidak ketahui termasuk saya sendiri sebagai gurunya dan hanya pak kepala sekolah yang tahu, mereka berdua mendapat juara 1 dalam lomba tersebut! Penyerahan hadiah dilakukan oleh pak kepala sekolah dengan hormat kami persilahkan menyerahkan hadiah kepada Arinanda dan Azizah.” Kulihat hadiah uang sebesar 12 juta diberikan kepada kami berdua. Dan 2 buah medali emas untuk kami berdua. Ku lihat sahabat-sahabatku yang bersorak-sorak gembira.
Esokan harinya, ku lihat ada sebuah sms masuk. “Hai Nanda. Ini aku
Didit. Entar jam 10 kamu ke sebuah restoran dekat rumah kakakmu yah?
Kami tunggu?” kulirik jam dinding. Sudah pukul 8. Aku segera
bersiap-siap. Aku sebenarnya sudah dapat mengendarai kendaraan bermotor
sendiri. Cuma kakakku takut membiarkankanku. Ketika kakakku ada kuliah
tambahan, aku kadang nekad membawa motornya. Tapi, untuk sekarang aku
dibolehin karena kakakku lagi ingin mengendarai mobilnya. Dan rencananya
juga, orangtuaku dan adekku akan datang nanti sore.
Sudah hampir jam 10, akupun berangkat ke tempat yang dikatakan Didit.
Sesampainya disana, semua sahabat-sahabatku sudah pada ngumpul. Kamipun
bernostalgia tentang masa-masa di SMP dulu dan kami tak sadar bahwa
kami telah tamat SMA.
“ngomong-ngomong, kita ada yang kurang deh.” Kata Aydhil.
“Hm, sepertinya iya. Tapi siapa?” kata Dini.
akupun melihat ke sekeliling. Ternyata betul ada yang kurang. Naya. Dia tidak disini. Kemudian aku mencoba untuk menghubungi telpon Naya.
“Hallo.”
“iya, hallo nak Nanda?”
“Oh, ini mamanya Naya ya? Tante, aku mau nanya, Naya ada di rumah engga?”
“Hiks.” Ku dengar suara isak tangis tante Velga.
“Hallo tante? Ada apa?”
“Begini nak Nay, Naya. Sedang di rawat di rumah sakit dan keadaannya sangat kritis.” Tiba-tiba airmataku turun. Sahabat-sahabatku serontak kaget melihatku.
“Ada apa Nan? Apa yang terjadi sama Nia? Nan? Cerita dong.” Kemudian akupun menceritakan kepada mereka. Kamipun segera menuju rumah sakit tempat Naya di rawat. Didit memboncengku karena dia takut aku kenapa-kenapa kalau aku bawa motor sendiri.
“ngomong-ngomong, kita ada yang kurang deh.” Kata Aydhil.
“Hm, sepertinya iya. Tapi siapa?” kata Dini.
akupun melihat ke sekeliling. Ternyata betul ada yang kurang. Naya. Dia tidak disini. Kemudian aku mencoba untuk menghubungi telpon Naya.
“Hallo.”
“iya, hallo nak Nanda?”
“Oh, ini mamanya Naya ya? Tante, aku mau nanya, Naya ada di rumah engga?”
“Hiks.” Ku dengar suara isak tangis tante Velga.
“Hallo tante? Ada apa?”
“Begini nak Nay, Naya. Sedang di rawat di rumah sakit dan keadaannya sangat kritis.” Tiba-tiba airmataku turun. Sahabat-sahabatku serontak kaget melihatku.
“Ada apa Nan? Apa yang terjadi sama Nia? Nan? Cerita dong.” Kemudian akupun menceritakan kepada mereka. Kamipun segera menuju rumah sakit tempat Naya di rawat. Didit memboncengku karena dia takut aku kenapa-kenapa kalau aku bawa motor sendiri.
Sesampainya disana, Rani segera bertanya kamar Naya. Setelah itu kami
bergegas ke kamar tempat dirawatnya Naya. Ku lihat dia terbaring lemah.
Aku segera memegang tangannya dan memanggil namanya pelan sambil
terisak.
“Dia begitu pucat dan begitu dingin. Aku cuma bisa mendoakan yang terbaik.” Ujar Rian. Dia anak yang pendiam, namun ketika sudah ngumpul bareng kami, dialah yang paling ribut. Tapi dia memiliki insting dan feeling yang sangat kuat. Katanya, sudah keturunan dari keluarganya memang.
“Rian! Jangan berkata begitu!” kata Dini sambil menyikut Rian.
“Hm, okelah.”
kemudian kulihat Naya tersenyum dan membuka matanya.
“Nay, kamu kenapa? Kamu baik-baik sajakan? Nay.” Kataku masih sambil terisak. Dia hanya tersenyum. Membuatku tambah menangis dan Ranipun ikut menangis di pundak Dini.
“aku, baik-baik saja.” Kata Naya. Akupun terdiam sejenak sambil melihat Naya yang menghembuskan nafasnya panjang.
“Nay,”
“Hm, teman-teman. Terima kasih sudah datang menjengukku. Aku juga berterima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Huft. (Naya kembali menghembus nafas panjang) dan aku juga meminta maaf kalau aku banyak salah ke kalian. Mungkin saja, umurku ini sudah tak lama lagi. jadi aku mohon maafkan aku ya.” Rian kemudian berjalan dan menunduk ke telinga Naya. Entah apa yang mereka bicarakan. Rani pun menjawab,
“Kamu –Hiks- kamu engga punya salah apa –hiks- apa ke kita. Kita juga mau minta maaf ke kamu.”
“Iya aku maafin.” Ku lihat begitu indah senyuman Naya. Sangatlah indah. Kemudian, Rian berbisik dan Nayapun mengikuti apa yang dikatakan Rian. Aku hanya dapat terdiam dan mengeluarkan airmata mendengar kata-kata itu. Shalawat dan syahadat.
“Dia begitu pucat dan begitu dingin. Aku cuma bisa mendoakan yang terbaik.” Ujar Rian. Dia anak yang pendiam, namun ketika sudah ngumpul bareng kami, dialah yang paling ribut. Tapi dia memiliki insting dan feeling yang sangat kuat. Katanya, sudah keturunan dari keluarganya memang.
“Rian! Jangan berkata begitu!” kata Dini sambil menyikut Rian.
“Hm, okelah.”
kemudian kulihat Naya tersenyum dan membuka matanya.
“Nay, kamu kenapa? Kamu baik-baik sajakan? Nay.” Kataku masih sambil terisak. Dia hanya tersenyum. Membuatku tambah menangis dan Ranipun ikut menangis di pundak Dini.
“aku, baik-baik saja.” Kata Naya. Akupun terdiam sejenak sambil melihat Naya yang menghembuskan nafasnya panjang.
“Nay,”
“Hm, teman-teman. Terima kasih sudah datang menjengukku. Aku juga berterima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Huft. (Naya kembali menghembus nafas panjang) dan aku juga meminta maaf kalau aku banyak salah ke kalian. Mungkin saja, umurku ini sudah tak lama lagi. jadi aku mohon maafkan aku ya.” Rian kemudian berjalan dan menunduk ke telinga Naya. Entah apa yang mereka bicarakan. Rani pun menjawab,
“Kamu –Hiks- kamu engga punya salah apa –hiks- apa ke kita. Kita juga mau minta maaf ke kamu.”
“Iya aku maafin.” Ku lihat begitu indah senyuman Naya. Sangatlah indah. Kemudian, Rian berbisik dan Nayapun mengikuti apa yang dikatakan Rian. Aku hanya dapat terdiam dan mengeluarkan airmata mendengar kata-kata itu. Shalawat dan syahadat.
Tiit.. tiit.. tiitt.. Jantung Naya berhenti berdetak seiring ketika
ia tersenyum kepada kami. Tumpahlah air mata kesedihan kami. Akupun
berusaha mengguncang-guncang membangunkan Naya. Tetapi, dia tertidur
sangatlah lelap. Hanya tangisan yang kami dapat lakukan.
Pagi ini adalah hari pemakaman Naya. Aku harus hadir.
“Nan, bangun nak. Katanya mau ngehadirin pemakaman Nia. Ayolah cepat.” Kata mamaku. Ku lihat abangku yang sudah siap dengan baju berkerah berwarna hitamnya. Akupun segera mandi dan mengganti pakaian.
“Nan, bangun nak. Katanya mau ngehadirin pemakaman Nia. Ayolah cepat.” Kata mamaku. Ku lihat abangku yang sudah siap dengan baju berkerah berwarna hitamnya. Akupun segera mandi dan mengganti pakaian.
Tepat di rumah duka, kulihat teman-teman dan sahabat-sahabatku telah berkumpul. Rani datang kemudian memelukku erat.
“Nan, entah apa yang harus kukatain sekarang. Aku engga sanggup melihat sebuah mayat orang yang sangat kita sayangin disana. dan, aku engga nyangka, kita akan berpisah jauh dengannya.” Airmataku pun tumpah lagi. akupun segera berlari masuk dan memeluk erat Naya.
“Naya, walaupun engkau tidak mendengar secara fisik tapi aku yakin arwahmu mendengar apa yang kuucapin. Aku mau berterima kasih, sama kamu! Kamulah penyemangatku! Entah akan jadi apa aku saat ini kalau kamu engga ada kamu. Naya.”
“Nan, entah apa yang harus kukatain sekarang. Aku engga sanggup melihat sebuah mayat orang yang sangat kita sayangin disana. dan, aku engga nyangka, kita akan berpisah jauh dengannya.” Airmataku pun tumpah lagi. akupun segera berlari masuk dan memeluk erat Naya.
“Naya, walaupun engkau tidak mendengar secara fisik tapi aku yakin arwahmu mendengar apa yang kuucapin. Aku mau berterima kasih, sama kamu! Kamulah penyemangatku! Entah akan jadi apa aku saat ini kalau kamu engga ada kamu. Naya.”
Setelah sholat Dzuhur Naya dimakamkan di TPU terdekat. Ku lihat
orang-orang termasuk Didit, Aydhil dan Rian memggendong sebuah keranda
yang berisi mayat yang telah dikafani. Naya. Azizah Kanaya. Telah
tertidur untuk selama-lamanya.
Setelah pemakaman selesai, sisa aku, rani, aydhil, didit, rian, Nasha
dan Dini dipemakaman. Orangtua Nia sudah pulang. Ku lihat sebuah nisan
yang bertuliskan nama : AZIZAH KANAYA BINTI NURDIFAN. Kami semua hanya
dapat menangis, menangis, dan menangis sedih.
Seminggu setelah sepeninggal Naya, aku akan berangkat Amerika. Sehari
sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Nia.
Kemudian, aku berangkat ke bandara oleh keluarga dan sahabat-sahabatku.
Karena hari ini juga, Rani berangakat ke Singapura. Jadi barengan deh.
Aku ke Amerika ditemani oleh seorang guruku di SMA.
Terima kasih Naya. atas dukunganmu aku bisa sesukses sekarang ini.
Sudah hampir 6 tahun kau meninggalkanku. Sekarang aku menjadi seorang
penulis terkenal dan aku telah menyelesaikan kuliahku di Amerika. Akupun
diterima di sebuah perusahaan di Amerika. Sahabatku yang lain pula kini
sudah menjadi orang yang sukses. Rani berhasil menjadi seorang desainer
muda terkenal. Didit sibuk dengan semua proyeknya. Didit kini menjadi
seorang arsitek muda. Dini dan Nasha berhasil mewujudkan mimpi mereka
berdua membuka sebuah restoran. Rian kini kerja di Rusia sebagai
ilmuwan, dan oh, ya Aydhil! dia bekerja sebagai seorang dokter. Bangga
rasanya kami semua telah sukses. Saat ada reuni angkatanku dan angkatan
sahabat-sahabatku pun, ku lihat teman-temanku sudah pada sukses dan ada
pula sudah memiliki anak. Di acara tersebut, kami memanjatkan doa
bersama untuk alm. Naya.
Selamat jalan Sahabatku. Semoga engkau tenang berada di sisi-Nya
Selamat jalan Sahabatku. Semoga engkau tenang berada di sisi-Nya
-THE END-
Sumber:
Cerpen Karangan: Nurul Fatimah Az Zahrah
Blog: azzahrahnurul@blogspot.com
Facebook: Nurul Fatimah Az Zahrah
Blog: azzahrahnurul@blogspot.com
Facebook: Nurul Fatimah Az Zahrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar