Implikasi Dari Kecintaan Kepada Selain
Allah Dan Rasul-Nya Yang Berlebihan
Dimuka telah dijelaskan
bahwa kita sangat menginginkan agar dikumpulkan bersama orang-orang yang kita
cintai, yaitu orang-orang yang shalih dan dikenal ketaqwaannya. Sementara itu menurut
satu pendapat, juga kita dibolehkan bersaksi untuk orang yang memang dikenal
oleh kalangan luas ketaqwaan dan keshalihannya serta umat telah bersepakat
memujinya seperti imam-imam madzhab yang empat.
Di samping itu, telah
disebutkan bahwa ada dua pendapat terkait dengan persaksian masuk surga
terhadap orang yang belum dipersaksikan demikian oleh Rasulullah dimana salah
satu pendapat berdalil dengan salah satu sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa
sallam yang memberikan kriteria, yaitu adanya pujian baik dan jelek dari
manusia.
Dari sini, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah bahwa sebenarnya banyak di
kalangan para syaikh yang terkenal di masa beliau yang bisa jadi bukan orang
berilmu, bahkan melakukan amalan sesat, kemaksiatan dan dosa-dosa yang
menghalangi diri mereka dari persaksian orang terhadap mereka dengan kebaikan.
Bahkan bisa jadi, diantara mereka ada orang Munafiq dan Fasiq, juga tidak
menutup kemungkinan ada orang yang termasuk wali-wali Allah yang benar-benar bertaqwa
dan beramal shalih serta termasuk hizb-Nya yang mendapatkan kemenangan.
Disamping itu, ada pula kelompok manusia selain para syaikh tersebut yang
dikategorikan sebagai para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa -dimana
mereka itu masuk surga - seperti para pedagang, petani dan selain mereka dari
kelas sosial lainnya yang ada di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, menurut
Syaikhul Islam, barangsiapa yang meminta agar kelak dikumpulkan dengan
seorang Syaikh yang dia tidak tahu bagaimana akhir hidupnya maka dia telah
sesat, bahkan seharusnya dia meminta agar dikumpulkan oleh Allah dengan
orang yang dia ketahui akhir hidupnya yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang
shalih sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan jika kamu berdua
bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya
dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q,.s. 66/at-Tahrim: 4).
Di dalam firman-Nya yang
lain: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah)”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 55). Demikian pula di dalam
firman-Nya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 56).
Maka, berdasarkan
ayat-ayat tersebut diatas, kembali menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, siapa
saja yang mencintai seorang Syaikh/tuan guru yang menyelisihi syari’at, maka
dia kelak akan bersamanya; bila si Syaikh dimasukkan ke dalam neraka, maka
dia akan bersamanya disana. Sebab secara lumrah sudah diketahui bahwa para
Syaikh yang menyimpang dan menyelisihi Kitabullah dan as-Sunnah adalah
orang-orang yang sesat dan jahil, karenanya; barangsiapa yang bersama mereka,
maka jalan akhir dari kehidupannya adalah sama seperti jalan akhir dari
kehidupan orang-orang tersebut (ahli kesesatan dan kejahilan). Sedangkan mencintai
orang yang termasuk para wali Allah yang bertaqwa seperti Abu Bakar, ‘Umar,
‘Utsman, ‘Aly dan selain mereka adalah merupakan ikatan keimanan yang paling
kokoh dan sebesar-besar kebaikan yang akan diraih oleh orang-orang yang
bertaqwa.
Andaikata seseorang mencintai
seseorang yang lain lantaran melihat kebaikan yang tampak pada dirinya yang
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan mengganjarnya pahala atas
kecintaannya terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun dia
tidak mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan di dalam bathinnya (orang
tersebut) karena hukum asalnya adalah mencintai Allah dan mencintai apa yang
dicintai oleh-Nya; barangsiapa yang mencintai Allah dan apa yang dicintai
oleh-Nya, maka dia termasuk wali Allah akan tetapi kebanyakan manusia sekarang
hanya mengaku-aku saja bahwa dirinya mencintai tetapi tanpa teliti dan
realisasi yang benar. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad)! Jika
kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni semua dosa kalian”. Ayat ini turun terhadap suatu kaum di masa
Rasulullah yang mengaku-aku bahwa mereka mencintai Allah.
Mencintai Allah dan
Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa memiliki konsekuensi melakukan
hal-hal yang dicintai-Nya dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai-Nya sementara
manusia di dalam hal ini memiliki perbedaan yang signifikan; barangsiapa yang
di dalam hal tersebut berhasil meraup jatah yang banyak, maka dia akan meraih
derajat yang paling besar pula di sisi Allah.
Sedangkan orang yang
mencintai seseorang karena mengikuti hawa nafsunya seperti dia mencintainya
karena ada urusan yang bersifat duniawy yang ingin diraihnya, karena suatu
hajat tertentu, karena harta yang dia menumpang makan kepada si empunya-nya,
atau karena fanatisme terhadapnya, dan semisal itu; maka ini semua itu bukan
termasuk kecintaan karena Allah tetapi (kecintaan) karena hawa nafsu belaka.
Kecintaan seperti inilah yang menjerumuskan para pelakunya ke dalam kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI
HADITS TERSEBUT
1.
Kewajiban
pertama seorang hamba adalah mencintai Allah, setelah itu diikuti dengan
kewajiban berikutnya, yaitu mencintai Rasul-Nya yang merupakan subordinasi dan
konsekuensi dari mencintai Allah tersebut.
2.
Seseorang
kelak akan dikumpulkan bersama orang yang diidolakan dan dicintainya; maka
hendaknya yang menjadi idola kita adalah Allah dan Rasul-Nya serta
hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa.
3.
Persaksian
terhadap seseorang masuk surga atau tidak boleh dilakukan bila memang termasuk
orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa
sallam, sedangkan terhadap orang yang banyak dipuji dan dipersaksikan oleh
orang banyak; maka terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehannya.
4.
Hendaknya
semua makhluk mengikuti Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam; tidak
menyembah selain Allah dan beribadah kepada-Nya dengan syari’at Rasulullah,
bukan selainnya.
Tidak boleh kita
mengidolakan dan mencintai orang-orang yang dikenal sebagai pelaku maksiat dan
pengumbar hawa nafsu karena implikasinya amat berbahaya, khususnya terhadap
‘aqidah. Karenanya, bagi mereka yang terlanjur telah mengidolakan orang-orang
seperti itu yang tidak karuan ‘aqidah dan akhlaqnya, hendaknya mulai dari
sekarang mencabut pengidolaan tersebut dari hati mereka dan mengalihkannya
kepada idola yang lebih utama, yaitu Allah dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya
yang shalih dan bertaqwa. Sebab bila tidak, maka akhir hidupnya akan seperti
akhir hidup orang-orang yang diidolakannya yang tidak karuan juntrungannya
tersebut, na’ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a’lam.
REFERENSI:
1.
“Majmu’
al-Fatâwâ” Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts “al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.
Kitab
“at-Tauhid” karya Syaikh Shalih al-Fauzân
3.
Kitab
“al-Qaul al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar