Kamis, 06 Juni 2013

Implikasi Dari Kecintaan Kepada Selain Allah Dan Rasul-Nya Yang Berlebihan (Tulisan 4)

Implikasi Dari Kecintaan Kepada Selain Allah Dan Rasul-Nya Yang Berlebihan

Dimuka telah dijelaskan bahwa kita sangat menginginkan agar dikumpulkan bersama orang-orang yang kita cintai, yaitu orang-orang yang shalih dan dikenal ketaqwaannya. Sementara itu menurut satu pendapat, juga kita dibolehkan bersaksi untuk orang yang memang dikenal oleh kalangan luas ketaqwaan dan keshalihannya serta umat telah bersepakat memujinya seperti imam-imam madzhab yang empat.
Di samping itu, telah disebutkan bahwa ada dua pendapat terkait dengan persaksian masuk surga terhadap orang yang belum dipersaksikan demikian oleh Rasulullah dimana salah satu pendapat berdalil dengan salah satu sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam yang memberikan kriteria, yaitu adanya pujian baik dan jelek dari manusia.
Dari sini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah bahwa sebenarnya banyak di kalangan para syaikh yang terkenal di masa beliau yang bisa jadi bukan orang berilmu, bahkan melakukan amalan sesat, kemaksiatan dan dosa-dosa yang menghalangi diri mereka dari persaksian orang terhadap mereka dengan kebaikan. Bahkan bisa jadi, diantara mereka ada orang Munafiq dan Fasiq, juga tidak menutup kemungkinan ada orang yang termasuk wali-wali Allah yang benar-benar bertaqwa dan beramal shalih serta termasuk hizb-Nya yang mendapatkan kemenangan. Disamping itu, ada pula kelompok manusia selain para syaikh tersebut yang dikategorikan sebagai para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa -dimana mereka itu masuk surga - seperti para pedagang, petani dan selain mereka dari kelas sosial lainnya yang ada di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Syaikhul Islam, barangsiapa yang meminta agar kelak dikumpulkan dengan seorang Syaikh yang dia tidak tahu bagaimana akhir hidupnya maka dia telah sesat, bahkan seharusnya dia meminta agar dikumpulkan oleh Allah dengan orang yang dia ketahui akhir hidupnya yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q,.s. 66/at-Tahrim: 4).
Di dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 55). Demikian pula di dalam firman-Nya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah: 56).
Maka, berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, kembali menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, siapa saja yang mencintai seorang Syaikh/tuan guru yang menyelisihi syari’at, maka dia kelak akan bersamanya; bila si Syaikh dimasukkan ke dalam neraka, maka dia akan bersamanya disana. Sebab secara lumrah sudah diketahui bahwa para Syaikh yang menyimpang dan menyelisihi Kitabullah dan as-Sunnah adalah orang-orang yang sesat dan jahil, karenanya; barangsiapa yang bersama mereka, maka jalan akhir dari kehidupannya adalah sama seperti jalan akhir dari kehidupan orang-orang tersebut (ahli kesesatan dan kejahilan). Sedangkan mencintai orang yang termasuk para wali Allah yang bertaqwa seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aly dan selain mereka adalah merupakan ikatan keimanan yang paling kokoh dan sebesar-besar kebaikan yang akan diraih oleh orang-orang yang bertaqwa.
Andaikata seseorang mencintai seseorang yang lain lantaran melihat kebaikan yang tampak pada dirinya yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan mengganjarnya pahala atas kecintaannya terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan di dalam bathinnya (orang tersebut) karena hukum asalnya adalah mencintai Allah dan mencintai apa yang dicintai oleh-Nya; barangsiapa yang mencintai Allah dan apa yang dicintai oleh-Nya, maka dia termasuk wali Allah akan tetapi kebanyakan manusia sekarang hanya mengaku-aku saja bahwa dirinya mencintai tetapi tanpa teliti dan realisasi yang benar. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad)! Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni semua dosa kalian”. Ayat ini turun terhadap suatu kaum di masa Rasulullah yang mengaku-aku bahwa mereka mencintai Allah.
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa memiliki konsekuensi melakukan hal-hal yang dicintai-Nya dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai-Nya sementara manusia di dalam hal ini memiliki perbedaan yang signifikan; barangsiapa yang di dalam hal tersebut berhasil meraup jatah yang banyak, maka dia akan meraih derajat yang paling besar pula di sisi Allah.
Sedangkan orang yang mencintai seseorang karena mengikuti hawa nafsunya seperti dia mencintainya karena ada urusan yang bersifat duniawy yang ingin diraihnya, karena suatu hajat tertentu, karena harta yang dia menumpang makan kepada si empunya-nya, atau karena fanatisme terhadapnya, dan semisal itu; maka ini semua itu bukan termasuk kecintaan karena Allah tetapi (kecintaan) karena hawa nafsu belaka. Kecintaan seperti inilah yang menjerumuskan para pelakunya ke dalam kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI HADITS TERSEBUT
1.       Kewajiban pertama seorang hamba adalah mencintai Allah, setelah itu diikuti dengan kewajiban berikutnya, yaitu mencintai Rasul-Nya yang merupakan subordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah tersebut.
2.       Seseorang kelak akan dikumpulkan bersama orang yang diidolakan dan dicintainya; maka hendaknya yang menjadi idola kita adalah Allah dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa.
3.       Persaksian terhadap seseorang masuk surga atau tidak boleh dilakukan bila memang termasuk orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, sedangkan terhadap orang yang banyak dipuji dan dipersaksikan oleh orang banyak; maka terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehannya.
4.       Hendaknya semua makhluk mengikuti Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam; tidak menyembah selain Allah dan beribadah kepada-Nya dengan syari’at Rasulullah, bukan selainnya.
Tidak boleh kita mengidolakan dan mencintai orang-orang yang dikenal sebagai pelaku maksiat dan pengumbar hawa nafsu karena implikasinya amat berbahaya, khususnya terhadap ‘aqidah. Karenanya, bagi mereka yang terlanjur telah mengidolakan orang-orang seperti itu yang tidak karuan ‘aqidah dan akhlaqnya, hendaknya mulai dari sekarang mencabut pengidolaan tersebut dari hati mereka dan mengalihkannya kepada idola yang lebih utama, yaitu Allah dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa. Sebab bila tidak, maka akhir hidupnya akan seperti akhir hidup orang-orang yang diidolakannya yang tidak karuan juntrungannya tersebut, na’ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a’lam.

REFERENSI:
1.      “Majmu’ al-Fatâwâ” Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts “al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.      Kitab “at-Tauhid” karya Syaikh Shalih al-Fauzân
3.      Kitab “al-Qaul al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar