Sebuah Teladan
oleh Jalaluddin
Rakhmat
Ini
adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam
Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.
Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang
berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang
tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua
orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata
mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum
Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia
mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat
dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin
membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.
Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai
di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari
kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke
atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia
mengangkat tangan dan berdo'a: "Ya Allah, yang memelihara langit dan
apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya.
Wahai Tuhan pemilik 'arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu
kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah,
masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang
menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan
bay'ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim."
Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali
mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak
bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali
berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Qur'an di tangan
kanannya: "Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf ini ke
tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Qur'an. Jika
tangannya terpotong peganglah Al-Qur'an ini dengan tangan yang lain; jika
tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia
terbunuh."
Seorang pemuda Kufah bangkit
menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali tidak
menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain.
Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan Al-Qur'an kepada anak
muda itu, "Bawalah Al-Qur'an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan:
Al-Qur'an
berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah
kami dan darah kalian."
Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri
di depan pasukan Aisyah. Dia mengangkat Al-Qur'an dengan kedua tangannya,
mengajak mereka untuk memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia
disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf
dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian.
Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan
gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih
menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim.
Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan
Ali ibn Abi Thalib. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara air matanya deras
membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka.
Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka.
Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang
terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka.
Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan
mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin,
janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan
walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan
orang-orang saleh di antara mereka."
Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang
dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah
retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak
lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul.
Mu'awiyah mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan
kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur'an, memohon
perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan.
Seperti kita ketahui bersama, Ali dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari
pengikut Ali memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij,
berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk
mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal.
Dari: Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar