Jumat, 06 April 2012

Tulisan 2


Kumpulan Artikel Mengenai Perjuangan


Kamis, 18 November 1999
Selamat Tinggal Tanah Rencong...

BURUH di Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar (32 km timur lautBanda Aceh) terlihat sibuk mengangkut barang-barang milikpenumpang KM Sangiang, hari Rabu (17/11). Keramaian penumpangyang akan berpergian siang itu tidak seperti hari-harisebelumnya. Barang-barang yang umumnya berupa televisi, kaset,kasur, bantal, ranjang, dan pakaian ditumpukkan di sepanjangdermaga sandar yang luasnya sekitar 400 meter persegi. Adayang diangkut dengan truk, angkutan umum, ada pula yang denganbecak barang. Ada yang dikemas dalam kardus dan peti, ada juga yang cumadibalut atau dibungkus goni plastik dan kain sarung.Barang-barang itu sebagian besar milik warga non-Aceh yangakan eksodus meninggalkan Tanah Rencong yang luasnya 57.365,57km persegi. Menurut Syahbandar Pelabuhan Malahayati, Masrul, lonjakanpenumpang sejak Senin (15/11) meningkat drastis. Meningkat karena banyaknya warga non-Aceh yang mulai eksodusmeninggalkan Aceh menuju daerah asalnya masing-masing. "Ini tidak seperti biasanya. Kami pun terkejut melihatbanyaknya warga yang naik ke KM Sangiang tujuan Belawan(Medan) ini. Sebab biasanya kami hanya membawa penumpang dibawah 100 orang. Tetapi, hari ini (Rabu, 17/11) mencapai600-an," kata Masrul yang ditemui Kompas di PelabuhanMalahayati. Menurut dia, keadaan ini akan berlangsung sampai Desembermendatang. Apalagi KM Sangiang berangkat dari PelabuhanMalahayati hanya tiap tanggal ganjil. Artinya, penumpang yangnaik pun terbatas.

*** SUASANA haru pun menyelimuti pelabuhan, mengiringi kepergianratusan warga non-Aceh yang ingin kembali pulang ke kampungnya.
masing-masing. Isak tangis disertai rangkulan dan peluk cium sebagai tanda perpisahan silih berganti terlihat di tanggapintu masuk KM Sangiang. Meski mereka baru 5-10 tahun lebih menetap di wilayah paling ujung barat Indonesia ini, tetapi terlihat mereka begitu akrabdan penuh rasa persaudaraan. Bukan hanya orang-orang tua sajayang turut melepas kepergian warga pendatang itu, melainkanjuga pemuda-pemudinya. Mereka turut membantu membawakanbarang-barang milik warga pendatang tersebut sampai ke dalamkapal. Dalam percakapannya pun, warga non-Aceh itu sudah menggunakan bahasa Aceh dengan lancar. Saking akrabnya, warga yang berpergian dilepas dengan iring-iringan mobil pribadi sampai angkutan umum. Malah, sebagian warga tak lupa membawakan kuetimpan (terbuat dari ketan bercampur santan, pisang dan inti,khas Aceh-Red) sebagai makanan ringan dalam perjalanan. Suasana kesedihan pun memuncak, tatkala terdengar pengumuman dari nakhoda kapal diiringi suara terompet agar semua penumpang KM Sangiang naik ke kapal. Sebagian warga yang berada di kapal pun menuju pinggir dan sisi kapal melambaikantangan, tanda perpisahan. Warga yang ditinggal pun menyambut lambaian tangan dengan wajah berkaca-kaca. Begitu terharunya, sebagian warga takmampu mengangkat wajahnya. Mereka merunduk sambil menyeka airmata dengan sapu tangan atau kerudung yang diselempangkan dileher. Para penumpang yang bertolak ke Pelabuhan Belawan itu, adayang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Medan,Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), dan lainnya.

*** TUNIA (36), guru SMU Negeri 2 Banda Aceh, mengaku sedih meninggalkan tempat mengajarnya. Ia merasa sudah menyatu dancocok dengan kultur kehidupan masyarakat Aceh. Ia pun takmerasa risih mengenakan kerudung tatkala warga Aceh menyerukan setiap wanita muslimah mengenakan jilbab. "Orang Aceh itu baik, ramah-ramah dan menerima kami sebagai pendatang. Bapak bisa lihat bagaimana mereka memperlakukan kami seperti saudaranya sendiri. Mau pergi ini saja merekarela menyewa labi-labi (istilah angkutan kota di Aceh-Red)melepas kepergian kami sekeluarga," kata Tunia sambil menyekaair matanya.
Menurut Tunia, sejak menetap di Banda Aceh tahun 1988 bersamasuaminya, Drs Sanyoto, pegawai Badan Pertanahan Nasional BandaAceh, sesungguhnya ia merasa tak ada masalah. Tetapibelakangan, sejak terjadinya berbagai peristiwa antara GerakanAceh Merdeka (GAM) dengan TNI sampai munculnya tuntutan referendum 8 Agustus lalu, timbul rasa waswas akan keselamatan jiwa mereka. Apalagi, tanggal 4 Desember ada isu akan terjadiperang, jika referendum tak dikabulkan pemerintah. Guru bidang studi fisika ini mengaku, tak ada yang memaksanya pergi meninggalkan Aceh. "Keluarga saya meninggalkan Aceh iniatas inisiatif sendiri, karena melihat situasi yang takmenentu. Lebih baiklah kami pulang kampung sambil berlebaran berkumpul bersama keluarga di Kebumen," ungkap alumnus IKIPSemarang 1985 itu. "Jika kondisi keamanan di Aceh terjamin dan permasalahannya sudah selesai, insya Allah kami akan kembalilagi ke sini," kata ibu beranak dua itu. Hal senada dikemukakan Hanuri Efendi (43), Kepala SeksiPengeluaran dan Pendaftaran Tanah, Badan Pertanahan Nasional(BPN), Kotamadya Sabang. Ayah tiga anak itu meninggalkan Aceh karena pimpinannya (Kepala Kantor Wilayah BPN) telah memberiizin sementara untuk meninggalkan Aceh dengan pertimbangan keamanan. "Saya harus jujur mengakui, sesungguhnya rakyat Aceh itusangat menghormati pendatang. Sepanjang kita mau bergauldengan mereka, kita langsung dijadikan sebagai saudara.Sesungguhnya saya merasa tak pernah diganggu siapa pun selamabekerja di Sabang. Tetapi karena situasi keamanan tak adajaminan, 'kan tidak mungkin mempertahankan diri di sini.Daripada mati konyol, lebih baik saya pulang ke kampung," ujarayah tiga anak asal Taman Sari, Yogyakarta itu. Sementara Aida Simbolon (40) bersama tiga anaknya, yang sudah tinggal delapan tahun di Desa Lamnga, Aceh Besar, mengakui sangat terpukul harus meninggalkan daerah berpenduduk 4,5 juta jiwa ini. Aida yang mengaku akan kembali ke Medan, Sumatera Utara, sehari-hari petani kemiri. Ia tak mampu mengungkapkanisi hatinya ketika ditanya alasan kepergiannya, selainmen jawabnya dengan tangisan tersedu-sedu. Dari 4,5 juta jiwa penduduk Aceh, terdapat 186.640 jiwa(37.328 KK) yang warga transmigran di sembilan Dati II, selainKotamadya Banda Aceh dan Kabupaten Simelue. Sejak peristiwa
Operasi Jaring Merah (1989) sampai Daerah Operasi Militer(DOM) dan pasca-DOM, sebagian warga transmigran sudah kembali ke daerah asalnya masing-masing. Dalam bulan ini saja 21 KK(90 jiwa) warga transmigran asal Geumpang, Pidie, mengungsi ke kompleks transit transmigrasi Kanwil Departemen Transmigrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar