Kerinduan dengan Luka
di Kaki
Makkah-Aqsa-Baghdad (2)
’’Dari Indonesia,’’ jawab saya.
’’Muslim?’’ tanya tentara Israel bersenjata itu.
’’Yes,’’ jawab saya.
’’Muslim?’’ tanya tentara Israel bersenjata itu.
’’Yes,’’ jawab saya.
Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua
dengan tembok yang tebal dan kukuh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel
bersenjata. Itulah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan
sepak bola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan.
Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah
kuning. Itulah Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ, terlihat satu masjid
besar lagi: itulah Masjid Al Aqsa. Tembok yang mengelilingi kawasan itu
terlihat tinggi, tebal, dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok tersebut
tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang sampai menempel ke
tembok.
Dari arah Kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang
itu, harus jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga
naik turun dan berliku-liku. Itulah perkampungan yang hampir 100 persen
penduduknya merupakan warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan dan
mainan anak-anak, serta toko kelontong terlihat di sepanjang gang itu.
Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis,
saya teringat bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya yang harus melewati
kampung Arab yang padat. Ya mirip itulah.
Bagi penduduk kampung itu, tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang tersebut. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja.
Bagi penduduk kampung itu, tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang tersebut. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja.
Tapi, bagi warga di luar kampung tua tersebut, ada
peraturan khusus: yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis
juga dilarang salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya dibedakan:
hijau. Itu merupakan dalih Israel untuk mencegah berkumpulnya pejuang Palestina
dari berbagai penjuru di Masjid Al Aqsa.
Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis
tersebut. Semua terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina.
Semua dijaga tentara Israel bersenjata. Kalau saja lebih terurus, kawasan di
dalam tembok tua tersebut akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas
dipisahkan jalan-jalan kecil yang terbuat dari batu. Hanya, kurang rapi dan
kurang bersih.
Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sana
langsung dari perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud
mengejar salat Duhur berjamaah. Tapi telat.
Tapi, ada hikmahnya. Saya bisa salat Duhur bersama
keluarga di Masjid Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki Masjid
Kubah Batu di antara waktu duhur dan asar. Masjid Kubah Batu itu istimewa
karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu tersebut dikelilingi
tembok setinggi 3 meter, sehingga jamaah di sana seperti berjajar
melingkarinya.
Dari atas bukit batu itulah Nabi Muhammad SAW
’’naik’’ ke Sidratul Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni, untuk menerima
perintah kewajiban menjalankan salat lima kali sehari. Peristiwa itu terjadi
pada malam tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra
Mikraj.
Waktu peristiwa Isra Mikraj itu terjadi, tentu
belum ada bangunan apa pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun
belakangan. Di bawah bukit batu tersebut terdapat pula gua yang besarnya cukup
untuk bersembunyi 10 orang. Konon, Nabi Ibrahim yang menggalinya.
Kini masjid Kubah Batu hanya untuk perempuan.
Imamnya ikut imam Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid
itu. Jarak Masjid Kubah Batu dengan Masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300
meter. Al Aqsa lebih di bawah.
Tiga Risiko
Seusai salat Duhur di Masjid Kubah Batu, kami
jalan-jalan melihat sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan tersebut.
Ada satu kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina.
Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang Yahudi.
Mereka antre menuju tembok itu, menangis dan meratap di situ.
Sore itu kami salat Asar di Masjid Al Aqsa. Waktu magrib kami ke masjid itu lagi. Disambung salat Isya dan Tarawih. Tarawih di sana sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan suratnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat Nabi.
Sore itu kami salat Asar di Masjid Al Aqsa. Waktu magrib kami ke masjid itu lagi. Disambung salat Isya dan Tarawih. Tarawih di sana sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan suratnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat Nabi.
Jamaah Tarawih malam itu sekitar 1.500 orang.
Hanya, setiap selesai dua rakaat, ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai
rakaat ke-10, tinggal separo masjid terisi.
Di Al Aqsa, mayoritas jamaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jins atau celana anak muda setengah kaki). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala. Menjelang subuh, saya ke Masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa.
Di Al Aqsa, mayoritas jamaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jins atau celana anak muda setengah kaki). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala. Menjelang subuh, saya ke Masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa.
Menjelang matahari terbit, saya duduk-duduk di
pelataran masjid. Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan
besar terasa seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.
Saat duduk-duduk itulah saya tahu, ternyata cukup
banyak anak muda yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini? ’’Loncat pagar
kawat berduri,’’ ujar pemuda 27 tahun tersebut.
’’Saya melewati lubang yang saya buat di bawah
pagar,’’ ujar pemuda di sebelahnya.
’’Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak
renggang yang cukup untuk badan saya,’’ kata seorang pemuda yang ternyata
dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang
sangat merindukan salat di Masjid Al Aqsa. ’’Sejak adanya larangan anak muda
datang ke sini, baru sekali ini saya ke Masjid Al Aqsa,’’ ungkapnya.
Al Aqsa tentu sangat istimewa. Itulah infrastruktur
pertama yang pernah dibangun di muka bumi. Yakni, 40 tahun setelah pembangunan
Kakbah yang pertama. Al Aqsa maupun Kakbah sama-sama sudah mengalami
berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun banjir.
Dua-duanya dipercaya dibangun malaikat sebelum Nabi Adam turun ke bumi.
Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para
pemuda Palestina tersebut mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam
tanggal 27 Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibu kota
negara mereka. Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah Palestina,
perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Itu dilakukan untuk
memisahkan mereka dari kampung Yahudi.
UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari
mana pun yang mau datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan
keperluan hidupnya. Sejak itu, perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah
Palestina. Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari kampungnya
harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.
Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka
menempuh tiga risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat
pagar. Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk
mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap. Ketiga, bagaimana
dengan KTP hijau mereka bisa melewati penjagaan tentara bersenjata di gerbang
masuk Baitul Maqdis.
Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948.
Waktu itu, kawasan tersebut menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi
dimusuhi di mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris
memutuskan untuk memberikan negara kepada orang Yahudi. Pilihannya dua.
Dua-duanya di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.
Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi,
Yahudi menolak. Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Jerusalem adalah
tanah leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur
Tengah.
Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan
celananya. ’’Lihat ini,’’ katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan
darah yang mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat
memanjang sampai dekat lututnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar