UPACARA ATAU RITUAL ADAT SUKU DI
INDONESIA
1. Upacara
Adat di Sulawesi Tengah
A. Ratini / Mancumani
Noratini
Pada masyarakat Kulawi upacara yang berlangsung pada
masa ini terdiri atas beberapa jenis upacara selamatan tradisional yang disebut
mancumani antara lain : Mancumani Noratini, Mancumani Ratompo, Mancumani
Rakeho, Upacara Penutupan. Dari semua upacara masa ini yang disebut dengan
Upacara Mancumani saja. Keempat jenis upacara tersebut secara terpisah
diuraikan berturut-turut di bawah ini. Pengertian upacara ini adalah
membersihkan alat kelamin. Upacara ini menurut tradisi setempat hanya bagi
laki-laki yang telah mulai memasuki alam kedewasaan. Bagi anak perempuan
upacara ini tidak diadakan. Dengan kata lain bahwa upacara ini dilaksanakan
apabila yang diupacarakan itu sudah benar-benar telah memasuki alam kedewasaan.
Tujuan dan maksudnya dari upacara Ratini adalah sudah merupakan suatu tradisi
setempat bila seseorang anak telah menjelang dewasa, juga merupakan motivasi
yang mendorong penyelenggaraan upacara ini bahwa anak sesudah diratini sudah
meninggalkan sifat-sifat kekanak-kanakan dan telah mempunyai sifat-sifat malu.
Juga adanya anggapan masyarakat setempat bahwa setelah anak dikhitan maka
mulailah belajar memakai hirita (cawat).
B. Popanaung (Upacara Turun Tanah)
Pengertian yang
terkandung dalam upacara Popanaung (turun tanah) tidak berbeda dengan upacara
naik ayunan. Secara tradisi setempat upacara ini merupakan sebagai rasa syukur
orang tua dalam menerima kehadiran bayi dalam keluarga. Selain daripada itu
Popanaung adalah salah satu jalan memperkenalkan bayi kepada kehidupan dunia
luar sesudah berada dalam rahim ibunya.
Maksud dan Tujuan Upacara
Agar bayi dapat mengenal dan menerima kenyataan
hidup dan tempat di mana ia dilahirkan. Pengertian ini berdasarkan kepada
anggapan bahwa selamna ini bayi dalam rahim ibu merupakan dunia yang gelap dan
diperkenalkan kepada dunia luar (fana).
Waktu Upacara
Penyelenggaraan upacara Popanaung (turtin tanah)
mengikuti waktu sejak bayi itu lahir sampai pada hari kelima di mana upacaranya
dilaksanakan pada waktu pagi hari. Upacara Popanaung bagi bayi
mengandung pula gambaran bahwa waktu pelaksanaannya pada pagi hari akan
memberikan masa depan yang cerah bagi bayi dalam kehidupannya kelak.
Tempat Penyelenggaraan Upacara
Mengenai tempat penyelenggaraan upacara tidak ada
ketentuan mengenai tempat upacara. Kebiasaan bahwa tempat penyelenggaraan
adalah di rumah orang tua bayi. Kecuali apabila keadaan rumah orang tua yang
diupacarakan tidak mengizinkan (dalam keadaan rusak), maka upacara ini
dilaksanakan di rumah salah satu pihak orang tua dari keluarga yang
diupacarakan (ayah, mertua).
Penyelenggaraan Teknis Upacara
Sebagai penyelenggara teknis upacara sama haInya
dengan upacara Ratoe (naik ayunan) dimana penyelenggara teknis adalah sando
mpoana (dukun beranak), sehingga peranan dukun beranak sangat besar
artinya baik dalam membantu ibu dalam melahirkan maupun dalam melakukan upacara
Popanaung ini.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara.
Di samping sando (dukun) sebagai penyelenggara
teknis upacara, masih ada mobago (pembantu) yakni seorang yang
membantu dukun dalam upacara ini apabila upacara puncak dilaksanakan. Selain
pihak keluarga yang terdekat dengan yang diupacarakan, yang semuanya adalah motivoi
(saksi) dalam upacara tersebut.
Persiapan-persiapan dan Perlengkapan
Upacara
Sebelum tiba pada pelaksanaan upacara telah
disiapkan perlengkapan upacara agar dapat terlaksana dengan baik sesuai tradisi
setempat. Dalam upacara nopanaung memerlukan persiapan dan
perlengkapan upacara seperti kain nunu (kain kulit kayu beringin), ide
(tikar), tavala (tombak), guma (parang), kaliavo (perisai),
kawipi (bakul) tempat beras, karar (bakul kecil), vatu
pengaha (batu asa).
Dari pelbagai persiapan dan perlengkapan tersebut
dapat dibagi dua bagian menurut keperluannya masing-masing. Untuk perlengkapan
di dalam rumah berupa kain nunu, tikar, baku, sedangkan untuk di luar rumah
adalah tombak, parang, kain pengikat kepala (halili), dan perisai.
Jalannya Upacara Menurut Tahap-tahapnya
Dalam upacara nompanaung tahap-tahapnya
dapat dilihat perbedaannya pada perlengkapan upacara dan merupakan simbol yang
membedakan antara bayi laki-laki dan perempuan yang diupacarakan.
Sebelum puncak upacara dilaksanakan pada pagi hari,
biasanya di rumah yang akan mengadakan upacara, pada sore hari menjelang
keesokan harinya upacara itu dilaksanakan, maka pihak keluarga sudah
memasangkan simbol-simbol upacara di muka tangga rumah atau pada halaman rumah.
Maksudnya adalah untuk membedakan jenis kelamin bayi yang akan diupacarakan di
rumah tertentu. Bagi bayi perempuan simboInya adalah di depan rumah yang
diupacarakan sudah digantungkan pada kayu ujung atas atap rumah, yaitu tavala
(tombak) dengan cara melintang serta bagian tengah tombak diikatkan higa
(mahkota) yang biasa dipakai sebagai mahkota di kepala wanita dalam
pakaian adat masyarakat Kulawi.
Perlengkapan tombak dan mahkota tersebut digantung
oleh orang tua yang diupacarakan dan harus nampak terlihat bagi orang yang
lewat di depan rumah tersebut, sehingga orang pun dapat mengetahui bahwa di
rumah tersebut akan dilaksanakan upacara turun tanah.
Di samping menggantung perlengkapan tersebut
sekaligus pemasangan vatu pengaha (batu asa) di depan tangga rumah
yang akan diinjak oleh bayi pada upacara turun tanah. Sesudah semua
perlengkapan ini dipasang semuanya maka tangga depan rumah tersebut tidak dapat
lagi digunakan untuk naik turun rumah sebelum upacara nopanaung ini
selesai. Jadi, keluarga yang biasanya menggunakan tangga itu untuk Ialu-Ialang
harus melalui tangga rumah bagian dapur.
Ketika saatnya telah tiba dimana dukun telah datang
ke rumah yang di upacarakan Ialu mempersiapkan seluruh perlengkapan upacara di
tempat yang telah tersedia, sambil menunggu bayi dimandikan oleh ibunya, semua
alat perlengkapan upacara sudah disiapkan.
Sesudah bayi dimandikan Ialu diselimuti/dibungkus
dengan kain nunu dan ditidurkan di atas tikar yang khususkan untuk
upacara turun tanah, didekatkan bayi itu pada dukun. Dukun pun Ialu mengambil
bakul beras dan dengan hati-hati sekali dukun mengangkat bayi Ialu dimasukkan
ke dalam bakul.
Hal ini hanya berlaku bagi bayi perempuan, setelah
bayi sudah berada di dalam bakul, maka dukun berdiri disertai mobago (pembantunya)
sambil membopong bayi dalam bakul dan diiringi keluarga yang masing-masing
membawa sube (pacul kecil), kararo (bakul kecil)
masing-masing berjalan, di depan sekali adalah dukun kemudian pembantu dukun
dan keluarga yang diupacarakan menuju ke depan pintu. Setelah tiba di depan
pintu dan berhenti sejenak, maka dukun pun Ialu turun melalui tangga sampai
anak tangga terakhir, sedangkan pembantu dukun yang membopong bayi dan
masing-masing keluarga yang diupacarakan yang membawa perlengkapan lainnya
tetap berada di atas rumah berdiri di depan pintu.
Dengan isyarat dari dukun yang sudah berada pada
anak tangga terakhir maka pembantu dukun mulai menurunkan bayi dalam bakul
secara turun naik sebanyak tujuh kali berturut-turut. Setelah sampai pada
hitungan yang ketujuh sesudah turun, maka dukun pun mengeluarkan bayi dari
bakul dan dengan memegang kedua kaki bayi Ialu diinjakkan pada batu asa, dukun
mulai nogane (membaca manteranya) sebagai berikut:
“ matua pa tanuana na ngana ei mai pade vatu
“, Artinya: “kepala anak ini hendaknya lebih keras dari batu”.
Sesudah bayi diinjakkan kedua kakinya pada batu,
maka dukun dengan menggendong bayi naik kembali ke dalam rumah, sambil diiringi
pembantunya dan keluarga yang diupacarakan untuk menyimpan kembali perlengkapan
upacara pada tempat semula dan bayi langsung dinaikkan kembali ke ayunannya.
Sesudah upacara turun tanah selesai, maka upacara
ini pun telah selesai bagi bayi perempuan.
Bagi upacara Popanaung untuk bayi
laki-laki agak berbeda sedikit mengenai pelaksanaan upacaranya. Mengenai
sebelum waktu upacara turun tanah untuk bayi perempuan sama pelaksanaannya
dengan bayi laki-laki, kecuali perlengkapan yang digunakan untuk bayi laki-laki
berbeda dengan bayi perempuan.
Sebelum upacara puncak keesokan harinya, maka pada
sore hari di muka tangga rumah yang diupacarakan dipancangkan tovala (tombak),
guma (parang), dan perisai (kaliavo). Pemancangan perlengkapan
tersebut di atas di depan tangga rumah yang diupacarakan sebagai simbol bahwa
di rumah tersebut berlangsung upacara turun tanah. Tentang tata upacaranya pun
sama yang melaksanakan teknis upacaranya sama pula, kecuali bahwa bagi bayi
laki-laki pada saat turun tanah tidak menggunakan lagi bakul untuk tempat bayi
perempuan bila diturunkan ke tanah. Susunan upacara pada saat turun adalah sama
yakni bahwa pada hitungan yang ke tujuh setelah turun kemudian dukun
menginjakkan kedua kainya pada batu asah yang telah disediakan di halaman rumah
yang diupacarakan. Sesudah upacara turun tanah ini dilaksanakan bagi bayi
laki-laki, maka upacara ini pun dinyatakan berakhir, kemudian dilanjutkan
dengan upacara makan bersama di antara keluarga yang hadir dan dukun.
Pantangan-pantangan yang Harus Dihindari
Tujuan penyelenggaman upacara menurut tradisi
setempat adalah mencari keselamatan bagi keluarga yang terlibat dalam upacara
ini, terutama sekali bagi bayi yang diupacarakan.
Dalam pelaksanaan upacara ini didapati
pantangan-pantangan yang harus dihindari berupa perbuatan-perbuatan terhadap
bayi. Sejak memakaikan halili bulai pada saat kehamilan sampai pada
upacara turun tanah, halili ini tidak boleh ditanggalkan sebelum
upacara mencore (memandikan) sang ibu selesai dilaksanakan. Akibat
yang ditimbulkan bila pantangan ini dilanggar adalah baik ibu maupun bayi
selalu mengalami keadaan tidak sehat (mengalami sakit-sakitan) yang sering
dapat menimbulkan kematian bagi bayi. Bagi ibu pada saat upacara nupanaung tidak
boleh moboka (mencuci kepala dengan santan kelapa), akibatnya adalah
bagi ibu muda mendapat gangguan dari roh-roh jahat karena bau santan kelapa
atau ampas kelapa paling disukai oleh roh-roh yang jahat tersebut. Demikian
beberapa pantangan yang harus dihindari.
Lambang-lambang atau Makna yang
Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara.
Daya magis yang berpengaruh berupa lambang dalam
upacara nupanaung terhadap kehidupan bayi adalah seperti kain nunu
sebagai perlambang bagi yang diupacarakan, sedangkan tikar, bakul, cangkul
kecil bagi bayi perempuan sebagai lambang bilamana kelak sesudah ia dewasa dan
telah memasuki masa perkawinannya sampai mempunyai keturunan hingga tiba saat
ditinggal mati oleh suaminya, maka satu-satunya teman dalam membina hidup dan
kehidupannya adalah cangkul kecil untuk membersihkan ladang dan bekerja di
sawah, sedangkan bakul adalah merupakan tempat menyimpan hasil panen.
Bagi bayi laki-laki dengan tombak, parang, dan
perisai merupakan lambang yang mengandung arti babwa satu-satunya teman di
dalam menjaga keselamatan dirinya dan mempertahankan harta bendanya kelak
adalah alat-alat tersebut. Selain alat tersebut, juga merupakan lambang keberanian
dan kepahlawan bagi yang diupacarakan kelak.
C. Ratompo
Tujuannya dari Upacara Ratompo ini biasanya sudah
dilaksanakan setelah yang diupacarakan sudah sembuh dari rasa sakit yang
dialaminya dalam suatu upacara yang disebut mancumani yang sudah merupakan
pesta antar kampung. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Mengenai tempat penyelenggaraan upacara ratompo ini tidak terikat
kepada sesuatu tempat tertentu seperti di rumah orang tua ataupun tempat khusus
seperti di rumah tua adat, dan sebagainya.
Akan tetapi tradisi setempat telah menetapkan dalam hal pelaksanaan ratompo
adalah dipilih suatu tempat yang jauh dari keramaian orang, misaInya di
hutan di bawah pohon yang besar yang memang telah disiapkan untuk pelaksanaan
upacara tersebut. Alasan ini adalah berdasarkan pada pertimbangan bahwa upacara
sama sekali tidak dapat disaksikan oleh keluarga yang diupacarakan ataupun
orang lain, kecuali penyelenggara teknis upacara, pembantunya, dan yang
diupacarakannya sendiri. Kadangkala keluarga yang diupacarakan sudah menyiapkan
terlebih dahulu rumah yang sudah dalam keadaan kosong, yang juga tempatnya
sudah diperhitungkan jauh dari keramaian orang atau tempat Ialu lalang orang.
Di sinilah tempat penyelenggaraan upacara yang sangat dirahasiakan.
Penyelenggaraan Teknis Upacara
Pada bagian upacara hanya ada seorang sebagai penyelenggara teknis upacara
yakni tope tompo (dukun). Tope tompo adalah seorang pria yang
kedudukan sosialnya adalah dari kalangan orang kebanyakan di mana mempunyai
keahlian khusus dalam melakukan mencabut gigi bagi perempuan, dan menurut salah
seorang informan yang peneliti sempat wawancarai bahwa orang biasa melaksanakan
ratompo hanya seorang saja ada di daerah Kulawi yang memang sudah
menjadi pekerjaannya adalah melaksanakan di bawah pengaruh kuasa lembaga adat
dan raja-raja pada saat itu.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Di samping penyelenggara teknis upacara, maka satu-satunya orang yang
terlibat dalam upacara ratompo adalah tope pahilu (orang yang
membantu topetompo) yang bertugas memegang kedua belah pipi yang
diupacarakan pada saat ratompo dilaksanakan. Jadi, karena upacara ini
harus terpisah dari keluarga yang diupacarakan, maka dalam pelaksanaarmya pun
lebih diperketat agar tidak dapat disaksikan baik.
Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Pengadaan materi dalam kegiatan upacara Ratompo adalah dua buah
barang (ton’o), air hangat secukupnya, tikar dan bantal untuk tempat tidur yang
diupacarakan, painpongoa (tempat sirih) tempat penampungan darah, ayu
(abu dapur) untuk peresap darah dalam tempat sirih, tabo ngkala (cebokan)
untuk menampung darah yang lebih banyak (pendarahan), dan porama mavau (sejenis
rumput yang busuk baunya).
Jalannya Upacara Menurut Tahap-tahapannya
Peristiwa upacara ratompo menurut tahap-tahapnya adalah berbeda
dengan upacara-upacara lainnya. Ratompo dilaksanakan bagi seorang gadis
yang mempunyai sifat-sifat khusus dan hanya dilakukan di kalangan golongan
bangsawan berdasarkan keturunan, sehinga tahap upacaranya sangat berbeda
seperti misaInya sebelum ratompo dilaksanakan maka terlebih dahulu pihak
keluarga yang diupacarakan meminta izin kepada raja bahwa pada hari yang telah
ditentukan nanti anak saya si A akan ratompo, maka atas dasar permintaan
izin tersebut, ratompo dapat dilaksanakan. Pada saat hari yang telah
ditentukan di mana yang diupacarakan di rumahnya telah terkumpul sanak keluarga
dan topetompo serta tope palielit (pembantu) telah siap semua,
maka yang diupacarakan mulai diberi pakaian secukupnya yakni halili (baju
putih dari kulit kayu ) dan sarung dari mbesa. Setelah selesai
dipakaikan pakaian lalu diberi makan dengan ketan dan telur. Setelah selesai
makan dengan diantar oleh keluarga yang diupacarakan, topetompo dan topepahelu
mulai berjalan ke depan pintu rumah yang diupacarakan. Keluarga yang
mengantarkan hanya sampai di halaman rumah sebagai tanda melepas kepergian yang
diupacarakan. Maka yang diupacarakan pun dengan diikuti oleh topetompo serta
topepalielu berangkat meninggalkan rumah menuju tempat vang sudah
ditentukan seperti dahulu yang sunyi dari keramaian atau sebelah rumah yang
dikosongkan. Sesudah tiba di tempat yang telah ditentukan maka topetompo mulai
menyiapkan perlengkapan yang dibawanya serta yakni dua buah guma (parang) dan topepahelu
sudah menyiapkan tikar dan bantal.
Setelah siap semua peralatan upacara, maka yang pertama dilakukan adalah topepalielu
mulai menutup mata anak yang diupacarakan dengan kain nunu, dan
ditidurkan di atas tikar, kepalanya di atas bantal. Kemudian kedua kaki yang
diupacarakan pun mulai diikat dengan kain nunu dan kedua belah tangannya pun
diikat.
Selanjutnya semuanya telah siap maka topepahelu menyiapkan
perlengkapan-perlengkapan lain seperti air hangat, am (abu dapur), pompangoa
(tempat siri), dan taba ngkala (cebokan). Bila segala persiapan ini
sudah disiapkan maka topepahelu mulai mengambil tempat di bagian kepala
yang diupacarakan, sedangkan topetompo sudah memulai memegang
peralatannya berupa dua buah guma (parang) masing-masing parang ini
adalah sebagai pahat dan martil. Parang yang berupa pahat ini pada ujung
gagangnya sudah ditipiskan yang cocok bila dimasukkan di antara sela-sela gigi;
sedangkan parang yang dijadikan martil yang digunakan untuk memukul pahat
tersebut adalah bagian belakang parang. Sebelum ratompo dilaksanakan,
maka terlebih dahulu topetompo membacakan gane (mantera) antara
lain: “Ane moto moleko patumpako, ane matumpako patumoleko, bona nemo madea
ra mchuko tiroi daka kami“. Artinya: Bila kami tidur tengadah, lihatlah
kami dan bila kami tidur tengkurap angkatlah kami, jangan sampai banyak darah
yang keluar lihatlah kami.
Sesudah membaca mantera tersebut, maka topetompo mulai memasukkan
parang yang serupa pahat tadi ke sela-sela gigi yang akan ditanggalkan dengan
maksud untuk menjarangkan. Sesudah digoyang-goyangkan pahat yang sudah berada
di sela gigi bagian atas dan bawah yang terdiri dari delapan gigi seri, empat
gigi taring atas dan bawah. Setelah pahat sudah selesai digoyang-goyangkan di
antara sela-sela gigi, maka topetompo mulai memukulkan belakang parang
pada pahat itu dengan sekuat-kuatnya. Karena itu, sejumlah gigi tersebut
menjadi tanggal dan topepohelu mulai mencabut satu per satu gigi yang
sudah tanggal tersebut.
Setelah semua gigi tersebut dikeluarkan, maka mulai diberi pengobatan berupa
air hangat untuk dikumur-kumur dan semua darah yang keluar ditampung di tempat
sirih dengan diberi abu dapur agar darah yang sudah tertampung tersebut dapat
terserap oleh abu dapur tersebut. Setelah darah mulai berkurang dan yang
diupacarakan sudah siuman maka yang diupacarakan pun dengan diantar oleh topetompo
dan topepalielu kembali ke rumah yang diupacarakan. Sesudah tiba di
rumah, maka anak yang diupacarakan lalu di tidurkan di tempat tidur yang sudah
disiapkan. Selama pengobatan berlangsung di rumah yang diupacarakan, dilakukan
oleh topepahelu sampai anak yang diupacarakan itu sembuh benar.
Pantangan-pantangan Yang Harus Dihindarkan
Selain tujuan penyelenggaraan upacara adalah mencuri keselamatan dan
menghindarkan malapetaka maka dalam upacara ratompo juga mengenal
pantangan-pantangan yang tidak bersifat-sakral magis, tetapi pantangan di sini
menyangkut hal cepatnya kesembuhan yang diupacarakan. Pantangannya meliputi
tingkah laku dan perbuatan, seperti selama dalam pengobatan yang diupacarakan
tidak boleh banyak bergerak karena akibatniya dapat menimbulkan pendarahan yang
banyak atau bengkaknya tidak akan turun. Pantangan lainnya adalah selama
pengobatan berlangsung yang diupacarakan tidak boleh makan yang asam-asam dan
selama tiga hari sejak saat diratompo tidak boleh minum air akibatnya
bila hal ini dilanggar akan lebih lama proses kesembuhan yang diupacarakan.
Lambang-lambang atau Makna yang Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara
Ketan putih dan satu butir telur sebagai simbol yang diupacarakan. Lambang
ini adalah merupakan tanda keihlasan dan ketulusan hati daripada yang
diupacarakan yang seputih dan sebulat hati menyerahkan anak untuk diupacarakan.
Sebab hal ini menurut tradisi setempat bahwa upacara ratompo adalah
sebagai tanda setengah berkabung bagi keluarga yang diupacarakan.
D. Nantauraka Ngana
Pasa masa
kelahiran dan masa bayi dijumpai beberapa upacara adat yang cukup sederhana,
dalam arti pelaksanaan dan keanekaragaman perlengkapan. Pada masa ini upacara
adat yang dilaksanakan ialah (1) Nompudu valaa mpuse, (2) Nanta Uraka ngana,
(3) Nosaviraka ritora, dan (4)Nokoto/Nosombe bulua. Upacara ini dilaksanakan
setelah selesai upacara penanaman tembuni, yang dihadiri oleh keluarga-keluarga
terdekat dan tetangga.
Maksud dan tujuan upacara
Upacara ini bertujuan agar sang bayi sudah dapat dengan bebas dibawa ke
luar rumah oleh orang tua dan keluarga lainnya, serta jauh dari gangguan makluk
halus, sebagai suatu langkah prefentif.
Waktu Pelaksaman Upacara
Upacara diadakan pada siang hari saat-saat matahari naik, mulai pagi sampai
dengan sebelum matahari condong ke barat, maksudnya sebagai suatu isyarat
(simbol) bahwa hidup masih terus meningkat dan merupakan suatu puncak
kehidupan.
Tempat Pelaksanaan Upacara
Tempat dan pusat kegiatan dilakukan dalam rumah, halaman rumah, dan di
rumah para tetangga sebagai suatu rangkaian upacara.
Penyelenggara Teknis Upacara
Upacara tersebut tetap diperankan oleh sando mpoana (dukun) dan
sejumlah anggota keluarga yang khusus datang untuk upacara tersebut baik
dipanggil maupun dengan sukarela.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara ini ada 2 (dua) tahap, yaitu sebelum turun tanah dan turun
tanah.
- Nompesuvuki.
Sebelum turun tanah ada pula vati mengadakan upacara nompesuvuki
(membelah biji kelapa). Biji kelapa tersebut diambil langsung di atas
pohon kelapa secara utuh, dan tidak boleh dijatuhkan ke tanah, tetapi
diikat dengan cinde, yaitu sarung adat sebagai tali pengikat kelapa
tersebut. Untuk menurunkannya dari atas pohon tersebut ditampung dengan
satu alat yang disebut poloroa (suatu keranjang penyimpanan
air/bobo) yang dibuat dari tempurung kelapa. Kemudian kelapa tersebut
dihilangkan sabutnya dengan rapi agar dapat disatukan kembali seperti
asalnya semula dan bijinya dijadikan bahan upacara tersebut.
Pada waktu upacara bayi ditidurkan dalam keadaan
telanjang di atas kedua belah kaki sang dukun, dan biji kelapa tersebut
kemudian dibelah dan airnya membasahi sebagian tubuh sang bayi sambil diiringi
dengan gane (mantera).
- Aku
mempesoki yodi (kalau yang di upacarakan bayi perempuan), yojo (kalau
bayi laki-laki), ala rai madoyo, rai mambongo, mantaraka. Jarita ribanua
loku ritana, nemo mantauraka jarita ri banua ritana, nemo mosikenika
jarita”.
- Aku
belah biji kelapa agar sang bayi kelak tidak menjadi penjahat, tidak
tuli, membawa ceritera dari rumah ke rumah, dari tanah ke rumah, dan
tidak membawa ceritera yang mengadu domba.
Selesai mantera dibacakan, dukun menghitung: sangu, randua, tatalu —
lalu membuang kelapa yang sudah terbelah dua itu ke belakang. Bila salah satu
belahan kelapa tersebut tertutup, maka kedua belaban tersebut diambil lagi
sampai kedua belahan kelapa tersebut terbuka. Hal ini merupakan simbol agar
rezeki sang bayi kelak di kemudian hari selalu terbuka, hati selalu jujur, dan
pikiran selalu terbuka untuk mencari kebahagian hidup. Kemudian isi kelapa
tersebut dipisahkan dengan tempurungnya, lalu dikunyah dijadikan posobo (sampo)
untuk bagian kepala sang bayi. Tempurungnya dibungkus kembali dengan sabutnya
yang dibuat begitu rupa seperti kembali menjadi sebuah kelapa, diikat dan
digantung di depan pintu rumah. Maksudnya agar terpelihara, jangan sampai
terbakar, sebab kalau terbakar dapat mengakibatkan hal yang negatif bagi sang
bayi seperti sakit-sakitan, kudisan, dan sebagainya.
Jalannya Upacara Turun Tanah
Upacara ini dilakukan setelah selesai upacara sebelum turun tanah, di mana
kemudian bayi tersebut diberi pakaian (ni bado) untuk siap di bawa ke tanah
oleh dukun. Di bawah tangga diletakkan sebuah kapak (vase) dan sehelai daun kamonji,
pamanu, dan silaguri (bahasa daerah) yang akan diinjak oleh dukun
yang membawa anak tersebut, dengan didampingi oleh orang-orang tua (nenek) dan
keluarga lainnya sebagai pendukung upacara tersebut, Nenek-nenek itu membawa
bahan makanan sirih (kapur, gambir dan sirih) di atas baki adat. Selesai
upacara tersebut di halaman, bayi tersebut diantar dari rumah ke rumah sebanyak
7 rumah tangga sampai di muka tangga.
Di depan tangga tersebut, dukun berteriak memanggil tuan rumah dan
terjadilah dialog: “Eee tupu mbanua, seimo yojo (kalau anak laki-laki)
atau yodi (kalau anak perempuan). Bayi dijemput oleh tuan rumah lalu
makan sirih yang sudah tersedia, dan memberikan uang kepada sang bayi sesuai
keihlasan.
Maksudnya ialah rai maboli vayona (agar semangat jiwa anak tersebut tidak
tertinggal). Tuan rumah membuang uang di atas loyang sambil berkata: ” Ituma
vayomu, makoo balenggamu, mandate umurumu, masempo dalemu“. Itulah semangat
(kekuatan rohmu), keras kepalamu (sukar menjadi sakit), panjang umurmu, dan
mudah rezekimu”.
Dukun kemudian meninggalkan tempat itu menuju rumah tetangga yang lainnya
sampai rumah yang ketujuh dengan cara yang sama. Setelah itu dukun dan
rombongan kembali ke rumah dan dengan demikian selesailah upacara tersebut dan
dilanjutkan dengan upacara Nosaviraka ritoya (naik ayunan).
2. Upacara Adat di Jawa
A.
Upacara Adat di Jawa Barat
Upacara adat di Jawa Barat
meliputi upacara daur hidup dan upacara lainnya. Upacara daur hidup, misalnya,
daur hidup kelahiran, menjelang dewasa, pernikahan, dan kematian.
Upacara lain yang dilakukan dalam masyarakat Jawa Barat antara lain, Upacara
Labuh Laut, yaitu upacara yang dilakukan agar para nelayan mendapat tangkapan
ikan yang banyak. Upacara Labuh Laut dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro.
Pada pelaksanaan upacara ini biasanya dipersiapkan berbagai jenis tumpeng dan
sesaji.
Upacara Labuh Laut ini diawali dengan pembacaan doa
dan penyebutan jenis dan fungsi sesaji satu per satu. Setelah pembacaan doa
selesai, biasanya tumpeng akan langsung diperebutkan untuk dimakan. Konon,
dengan memakan tumpeng ini akan mendapat berkah.
Setelah itu, sesaji akan dilarung atau dilayarkan
ke tengah lautan di atas sebuah rakit papan dari bambu yang dihiasi janur
kuning. Sesajian itu dilarung untuk ditujukan kepada Ratu Emas yang menguasai
laut selatan.
Kemudian, ada Muludan, yaitu upacara mensucikan benda-benda pusaka, seperti
senjata dan lain-lain. Lalu, ada Nadran, yaitu sejenis sedekah laut yang
dilakukan oleh penduduk pesisir.
Upacara Adat Sunda: Si Lengser Dalam Acara Pernikahan
Kabupaten Cilacap
sangat identik dengan adat istiadat jawa, namun di sebagian daerah terutama di
dua wilayah kecamatan yaitu Dayeuhluhur dan Wanareja adat sunda masih
sering dipakai dalam setiap ada acara, termasuk dalam acara nikahan. Hal ini
tak lepas dari sejarah di masa lalu dimana wilayah Dayeuhluhur
sampai Majenang dikuasai oleh kerajaan dari tatar Sunda yaitu Pajajaran dan
Galuh. Oleh sebab itu, di kedua wilayah tersebut terutama di wilayah Kecamatan
Dayeuhluhur bahasa, adat, dan kebudayaan yang sering dipakai adalah
sunda.
Karenanya tidak aneh
lagi apabila dalam hal pernikahan Adat sundalah yang sering digunakan, dari
mulai acara lamaran, siraman, seserahan, ngeuyeuk seureuh, dan nikahan. Sebelum
acara pernikahan dimulai biasanya rombongan pengantin Pria akan disambut oleh Si Lengser yang ditemani oleh mamayang
dan ponggawa serta alunan musik degung, yang diberi nama Mapag
panganten. Si Lengser sendiri merupakan
simbol dari ketua adat atau kokolot yang memandu jalan pengantin menuju
pelaminan.
Pakaian yang dipakai Si Lengser sendiri biasanya berwarna
serba hitam, dengan membawa tas anyaman yang terbuat dari daun lontar. Tas ini
sendiri berfungsi sebagai tempat untuk membawa peralatan yang dibutuhkan selama
prosesi berlangsung, biasanya berupa kemenyan dan tempat membakarnya. Tingkah
laku serta dandanan dari Si Lengser ini sendiri bisa
membuat gelak tawa, dengan tingkahnya yang lucu sembari komat kamit membacakan
mantra.
Setelah prosesi
membakar kemenyan, biasanya dilanjutkan dengan datangnya seorang pembawa payung
untuk memayungi mempelai pria, dilanjutkan iringan ponggawa yang membawa
semacam umbul-umbul, dan terakhir yaitu beberapa wanita yang menari sambil melemparkan
kembang/kertas dan berjejer disepanjang jalan yang akan dilewati oleh pengantin
pria. Barulah setelah itu Si Lengser mempersilahkan rombongan
pengantin pria untuk menuju tempat prosesi pernikahan.
Namun tidak berhenti
sampai disini, masih ada rangkaian upacara adat lainnya yang dijalankan setelah
ijab kobul diantaranya saweran, nincak endog (menginjak telor), huap
lingkung (suapan dari orang tua dan suami istri), dan pabetot
bakakak (saling tarik ayam bakar kampung yang utuh). Kesemua prosesi
tersebut mempunyai arti atau makna tersendiri misal saweran mengandung
arti berbagi rejeki dan kebahagiaan; nincak endog mengandung arti
pengabdian seorang istri kepada suami yang dimulai saat itu juga; suapan
mengandung arti sebagai suapan terakhir dari orang tua karena setelah
berkeluarga, kedua anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup
mereka dan juga menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan
menantu itu sama besarnya.
Mungkin ini hanya
sebagian saja dari adat pernikahan yang masih menggunakan adat sunda, tiap
daerah di wilayah sunda tentunya tidak semuanya sama, ada juga yang melepas
burung merpati atau membakar harupat (lidi dari pohon aren yang terdapat pada
ijuk). Nilai-nilai atau makna yang terkandung didalamnyalah yang sepatutnya
kita pelajari dan kita jalankan dari setiap proses pernikahan tersebut, agar
dalam menjalankan bahtera rumah tangga tidak akan ada halang merintang dan
selamanya bahagia. Selain itu sebagai orang sunda atau orang manapun yang
mempunyai adat istiadat dari leluhur kita hendaknya terus dijaga agar tidak
punah.
B. Upacara Adat di Jawa
Tengah
Jawa Tengah yang kaya akan
tradisi memiliki beberapa macam upacara adat. Upacara adat ini biasa
dilaksanakan oleh pihak Keraton Surakarta. Beberapa di antaranya adalah upacara
Garebeg. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam satu tahun penanggalan Jawa,
yaitu tanggal 12 bulan Mudul (bulan ketiga), tanggal 1 bulan Syawal (bulan
kesepuluh), dan tanggal 10 bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari itu raja
mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur.
Upacara adat lainnya adalah sekaten. Sekaten
merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama 7 hari. Upacara ini
sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw.
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa merupakan suatu perayaan tahun baru
menurut kalender Jawa. Di Keraton Surakarta, upacara ini diperingati dengan
Kirab Mubeng Benteng (arak-arakan mengelilingi benteng keraton).
Sumber:
- Serial Salam Sahabat Nusantara
Jawa Tengah
- Buku Salam
Sahabat Nusantara: Jawa Barat yang Memesona, Penerbit: Doenia Aksara
- Muflihah,
Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Sekolah Dasar, Penerbit: Puspa Swara,
Jakarta, 2007.
- Buku Salam
Sahabat Nusantara: Jawa Barat yang Memesona, Penerbit: Doenia Aksara
- Muflihah,
Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Sekolah Dasar, Penerbit: Puspa Swara,
Jakarta, 2007.
http://telukpalu.com/2007/05/nantauraka-ngana/
http://www.urangkampoeng.com/2012/06/upacara-adat-sunda-si-lengser-dalam.html
http://ratihrahayusmadani.blogspot.com/2010/04/jenis-jenis-upacara-di-sulawesi-tengah.html
http://carapedia.com/upa_adat_jawa_tengah_info1918.html
http://carapedia.com/upa_adat_jawa_tengah_info1918.html
http://telukpalu.com/category/budaya/sukukaili/
http://telukpalu.com/2007/11/ratini-mancumani-noratini/